Aku hanya seorang perempuan yang sama, yang hidupnya tak jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan lainnya. Membicarakan pria, bersolek untuk mempercantik diri, menggunjingkan seputar perempuan lain, dan menyaksikan film romantis dengan pemeran pria yang sangat tampan. Bedanya, aku membenci hujan dan perempuan lain lebih menyukai hujan. Katanya, hujan itu dapat membangkitkan memori, hujan itu romantis, hujan itu mengerti suasana hati dan diutamakan bagi perempuan yang sendu. Opini-opini itu menjadi milik sejuta umat ketika hujan turun serempak di berbagai penjuru belahan bumi, manusia yang terkungkung dalam sebuah kamar akan merasakan kegalauan. Galau, kata yang populer sejak tahun 2010. Aku sempat mengenal kata itu tapi tidak pernah disapa di kala hujan. Aku bangga dan tidak merasa terkucilkan karena tidak galau karena hujan. Lagipula aku bukan pengikut tren.
Hujan selalu meninggalkan sebuah bekas, berupa genangan air, titik-titik air yang berdiam dan kemudian melesap beberapa saat setelahnya. Hujan membawa sebuah rona bahagia pada penikmatnya, membawa kegelisahan bagi beberapa perasa, membawa kenangan untuk yang ditinggalkan, dan juga membawa kebencian dari sebuah alasan yang terkadang tidak berdasar. Ketibaan hujan yang tepat dengan sebuah penanda menjadi saat yang dinanti atau dibenci bagi sebagian insan tapi tidak dengan hujan yang secara tidak sengaja membasahi bumi yang masih belum mengentaskan rindunya dengan kering. Aku, bukan si pecinta hujan. Aku, bukan si penanti hujan. Aku, bukan perasa yang gelisah saat hujan. Tapi aku pernah menjadi semua bagian dari itu, dulu. Aku, si pembenci hujan.
Mungkin jika berwujud manusia, ia akan mengusirku. Pasalnya sejak berumur 5 tahun hingga beranjak ke umur 20 aku tinggal di kota yang memiliki sebutan Kota Hujan. Aku, si pembenci hujan. Banyak yang bilang padaku untuk pantang mengatakan ”aku benci hujan.” dengan satu alasan yang selalu sama: hujan adalah anugerah dari Tuhan. Untuk alasan itu, aku tidak dapat menampiknya. Ya, hujan memang anugerah bagi yang mengandalkan hidupnya di balik runtuhan air yang menjatuhi bumi itu, misal seorang tukang ojek payung, yang senantiasa menawarkan jasanya di pusat perbelanjaan, di pasar, terminal, dan banyak tempat orang berkumpul. Tapi bukan aku. Aku, si pembenci hujan.
Sudah kukatakan di atas tadi, ada yang membenci hujan tanpa alasan yang berdasar dan itu adalah aku. Takpeduli aku apapun kata orang-orang yang menafsirkan hujan dengan beribu kata, berjuta alasan, dan beratus definisi mengenainya. Sekali aku membencinya, itu selamanya. Hampir setiap yang mengetahui kebencianku ini memberikan peringatan untuk tidak mengatakan ”benci”, katanya itu terlalu sinis dan mereka kemukakan bermacam alasan yang sudah lama kudengar juga sebelumnya. Baiklah, aku koreksi sedikit. Aku, bukan si pembenci hujan, hanya sangat tidak suka dengan hujan. Nah, apa bedanya? Sama saja? Lebih baik sinis sekalian kan, toh aku juga tidak mengingkari Tuhan.
Hujan berupa titik-titik air yang datang berpasukan. Aku suka air, tapi tidak air hujan. Air hujan selalu berusaha mendekatiku dengan ukuran mungilnya seakan ingin sekali mengakrabkan diri denganku. Mungkin ia tahu kalau aku tidak menyukainya. Aku merasa cukup bersahabat dengan air di kamar mandi, air mencuci, serta air minumku. Hujan seringkali merubah mataku yang awalnya bebinar menjadi takbersinar ketika ia datang, apalagi jika tiba-tiba tanpa pertanda sebuah mendung.
Aku yakin, hujan pernah menahan setiap orang di saat yang tidak tepat. Aku ambil contoh, ketika dulu sedang dalam perjalanan menuju sekolah dan semua murid masuk pukul tujuh pagi. Aku berangkat pukul enam dengan menggunakan kendaraan umum, pagi itu cuaca tidak menunjukkan akan turun hujan. Tiba-tiba pukul 6.30 hujan turun bersamaan saat aku turun dari kendaraan umum dan harus menyambungnya dengan kendaraan lain untuk menuju sekolah. Aku harus berteduh, sementara hujan begitu deras. Orang-orang yang tertahan denganku karena hujan kuyakin akan membenci hujan dikala itu karena berpacu dengan waktu. Dalam pendek kata, hujan (menungkinkan) dapat membuat datang terlambat. Dan akibatnya tidak perlu aku jelaskan karena hal itu akan menjadi sangat panjang. Hujan dan waktu adalah sahabat musiman. Mereka bersahabat walau kadang ada salah satu dari mereka yang tidak memahami satu sama lain.
Membuat repot. Ya, hujan membuat beberapa orang kerepotan. Seperti seorang ibu rumah tangga yang selalu berperan dalam kegiatan rutin mereka mencuci-menjemur-menyetrika baju setiap anggota keluarga. Ketika musim hujan tiba, menjemur baju harus mencuri-curi waktu dikala matahari kalah oleh jutaan air yang turun dari langit. Otomatis, jemuran mereka akan lama mengering dan lama untuk dipakai kembali. Asumsikan baju yang digunakan adalah yang penting untuk melamar suatu pekerjaan bagi si kepala keluarga. Ketika ia dipanggil untuk melakukan interview, ia akan kebingungan mencari baju lain yang lebih layak dipakai sementara si ibu rumah tangga mencoba menyetrika baju tersebut dan hasilnya sia-sia belaka. Bajunya tetap saja basah. Lalu di saat yang sama, anak mereka simpanan kaus kakinya habis untuk dipakai ke sekolah karena kaus kaki yang lain masih dicuci, itupun akibat terkena basahnya hujan. Ya, hujan terkadang membuat repot. Beruntung bagi mereka yang memiliki stok pakaian banyak, namun bagaimana dengan yang lainnya?
Menggagalkan kesenangan orang. Aku seringkali terjebak oleh hal ini. Aku adalah seorang perempuan yang normal, aku menyukai seorang pria. Suatu hari aku diajak (aku menyebutnya) berkencan, karena kami hanya pergi berdua. Sebelum pergi aku memilih pakaian yang sangat cocok untuk kukenakan agar ia juga tertarik melihatku, umumnya wanita seperti itu kan? Sesaat ketika aku akan berangkat, gerimis datang. Kami sempat membahas kencan kami lewat ponsel, katanya tunggu hingga reda. Sampai 3 jam kemudian gerimis itu takkunjung menghilang, melainkan digantikan dengan hujan yang begitu deras. Dapat ditebak, aku gagal kencan. Aku masih bersyukur karena masih di dalam rumah. Terbayang kusutnya wajahku apabila sedang dalam perjalanan berkencan dan hujan turun.
Hal yang paling membuatku muak tentang hujan adalah melunturkan dandananku. Aku butuh waktu lebih kurang 20 menit untuk mempercantik wajahku (yang memang sudah cantik) sebelum bepergian. Memang aku sering kurang percaya diri tanpa olesan bedak, pelembab bibir, dan juga maskara. Yang terakhir adalah temanku, bermusuh dengan hujan. Pernah beberapa kali maskaraku luntur akibat kejatuhan air hujan. Saat itu aku tengah menunggu bus kota dipinggir jalan, aku hendak ke kantor. Tiba-tiba hujan turun dan airnya membasahi wajahku. Bedakku seketika luntur bersamaan dengan maskara yang baru aku bubuhkan di bulu mataku yang lentik. Mataku hitam seperti panda, melebihi hitamnya kantung mata Pak SBY. Sesampainya di kantor, bukannya terlihat segar, aku justru terlihat lusuh dengan tampilan seperti itu. Juga ujung rokku basah karena genangan air dipinggir jalan saat aku buru-buru naik bus. Rambut panjangku pun terlihat lepek, persis seperti tikus yang tercebur di selokan. Menjijikkan.
Lantas, masihkah ada alasan untuk aku menyukai hujan? Ia sungguh membuatku resah. Datangnya taktentu. Seringkali aku merasa sia-sia membawa payung di dalam tas. Saat aku memperkirakan cuaca yang mendung, aku selalu membawa payung tapi hari itu air tidak menetes setitikpun ke bumi. Dan ketika aku keluar rumah dengan teriknya sinar mentari, di tengah hari hujan turun bersamaan dengan aku yang tidak membawa payung. Hujan memang bermusuhan denganku. Atau hanya aku yang memusuhinya.
Baiklah setelah sekian hal yang aku kemukakan mengenai kebencianku tentang hujan, aku harus menyerah pada keadaan bahwa hujan pernah menyelamatkan aku dari sebuah tragedi, seseorang yang pernah berarti untukku tepatnya. Dulu aku mempunyai seorang pacar dan ia hendak berlibur dengan beberapa temannya. Tujuan mereka adalah Bali, mereka menggunakan pesawat. Taktahu apa yang ada dipikiranku, saat ia minta izin untuk berangkat aku melarangnya. Padahal dua hari sebelumnya aku menganggukkan kepala begitu saja. Inikah sebuah firasat atau hanya celoteh yang keluar tanpa mengandung makna? Saat aku melarangnya, sempat aku bertengkar beberapa saat dengan dia hingga akhirnya dia memaksakan diri untuk tetap ikut. Di perjalanannya menuju bandara hujan sangat deras dan terjadi kecelakaan lalu lintas yang membuat macet di salah satu ruas jalan menuju bandara. Alhasil kemacetan dan hujan menahannya. Juga membatalkan rencana berlibur karena teritnggal pesawat. Malam harinya ada berita di televisi mengenai kecelakaan pesawat yang berada di Bali, tidak ada yang tewas tapi beberapa korban luka berat. Aku hanya membayangkan saat itu kekasihku menjadi salah satu penumpang di dalamnya, tidak tahulah. Tuhan telah menyelamatkannya melalui hujan.
Sudah kukatakan bahwa hidupku tidak jauh berbeda dengan perempuan lainnya. Bedanya aku membenci hujan, sementara perempuan lain begitu menyukai hujan. Beberapa kebencianku terhadap hujan juga sebenarnya sederhana, tapi hal sederhana yang membuat runyam sungguh tidak sederhana untukku. Maafkan aku Tuhan atas rasa benciku terhadap karunia-Mu. Namun, aku selalu merasa beruntung ketika hujan turun begitu deras saat malam hari dan aku berada di rumah, tempat yang nyaman dan tidak membuatku basah. Seperti malam ini, aku menuliskan tentang hujan di tengah hujan tengah malam dengan ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Reaksi