Minggu, 18 Desember 2011

KEWAJIBAN TABAYYUN DALAM SETIAP MERESPONS INFORMASI


KEWAJIBAN TABAYYUN DALAM SETIAP MERESPONS INFORMASI
                                                  MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas kelompok
dalam mata kuliah Tafsir Ahkam

Disusun oleh:
Sumarno                      10340124
      Dosen:  Fuad Mustafid
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA





BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kita nikmat Iman, Islam, dan Ihsan serta nikmat sehat hingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini . Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada sosok pendekar yang tak gila gelar sayyidul anam Nabi Muhammad Saw yang dapat mengantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selanjutnya, setelah memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, kami disini akan mencoba menguraikan makalah yang berjudul “Kewajiban Tabayyun Dalam Setiap Merespons Informasi”. Dimana dibuatnya tulisan ini, yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Ahkam”. Makalah ini juga mencoba mengupas secara khusus tentang tabayyun dalam merespons setiap informasi . Jika pemahaman dari para pembaca belum jelas, para pembaca dapat mencari buku-buku referensi yang telah kami bubuhkan dalam makalah ini atau dapat pula untuk saling bertukar pikiran.
Demikian pula, disadari oleh penulis  bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi, metodelogi penulisan dan analisisnya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan .
            Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dan bisa memberikan jalan keluar dari masalah perpecahan ummat dikarenakan terprovokasi informasi yang belum jelas tanpa adanya tabayyun. Dan juga diharapkan makalah ini dapat menjawab kejadian-kejadian yang direspons oleh Al-qur’an dari perspektif ulama dan mufassir . Semoga Allah memberikan berkah dan rahmat kepada kita semua, khususnya penulis. Aamiin ya Rabbal’ Aalamiin…..




BAB I
PEMBAHASAN

بسم الله الرحمن الرحيم
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.
6.  Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujuraat :6)
Asbabun Nuzul :
          Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Harits menghadapa Rasulullah SAW. Beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun bersedia serta berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rosulullah mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata: “Ya Rosulallah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajakanku akan kukumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah kukumpulkan itu.”
          Ketika al-Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang sudah ditetapkanpun telah tiba, tak seorang pun utusan Rosulullah yang menemuinya. Al-Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah marah kepadanya. Ia pun memanggil para hartawan kaumnya dan seraya berkata : “Sesungguhnya Rasulullah telah mentapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat mengahadap Rasulullah SAW.
          Rasulullah saw. , sesuai waktu yang telah ditetapkan, mengutus al-Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada al-Harits. Ketika al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia melaporkan laporan palsu kepada Rasulullah bahwa al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.”
          Kemudian Rasul mengirim utusan berikutnya kepada al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya yang tengah menuju ke tempat Rasulullah saw.. Setelah berhadap-hadapan, al-Harits menanyai utusan itu: “kepada siapa engkau diutus?”. Utusan itu menjawab : “kami diutus kepadamu.”Dia bertanya : “mengapa?”Mereka menjawab : “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengutus al-Walid bin Uqbah. Namun ia mengatakan bahwa engakau tidak mau menyerahkan zakat, bahakan bermaksud membunuhnya.”Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada satupun yang datang kepadaku.”
          Ketika mereka sampai dihadapan Rosulullah saw., bertanyalah beliau “ mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?”al-Harits menjawab : “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.
          (Diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain, dengan sanad yang baik, yang bersumber dari al-Harits bin Dlirar al-Khuza’i. Para perawi dalam sanad hadits ini sangat dipercaya. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani yang bersumber dari Jabir bin Abdillah, Alqamah bin Najiah, dan Ummu Salamah. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir Al-‘aufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Selain Ibnu jarir juga meriwayatkan dari sumber lain yang mursal.[1]
1.             Tafsir Ayat :
Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat ini.[2]
Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam. Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:
التبين من الله والعجلة من الشيطا ن
Pembuktian itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan at-Thabary).[3]
Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun (orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[4]
Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan). Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah dusta atau bohong.[5] Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[6] Penggunaan kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat).[7]
Disisi lain kata naba’ tersebut merupakan  bentuk nakirah (umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa. Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan.[8]
An tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak mengetahui), [9] sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu. Tindakan yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:

]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً[
Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).
Fatushbihû ‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.
2.              Wacana Tafsir: Cara Menerima Berita
Untuk menerima berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen. Islam, melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil (Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak adil). Jika sumber berita tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang asalnya adil sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil keputusan (al-hâkim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang Islam.[10] Ini seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di atas. Al-Walîd adalah utusan Nabi saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi, akibat kesalahpahamannya terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan kesalahan, yang barangkali tidak sengaja ia lakukan.
Berbeda jika sumber berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan agar beritanya dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan berdasarkan kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang Islam yang fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang disampaikan orang kafir? Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang disampaikan CIA, bahwa Omar al-Farouq telah mengaku mempunyai rencana untuk membunuh Megawati. Menurut berita yang sama, al-Farouq juga diberitakan sebagai anggota jaringan al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan sebagai salah satu tempat berkembangnya jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut semuanya bersumber dari orang kafir, atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang kafir, alias orang fasik. Karena itu, berita tersebut harus diperiksa kebenarannya. Dalam kasus seperti ini ada contoh menarik; Rasul langsung mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk memeriksa keadaan Bani Musthaliq mengenai benar dan tidaknya informasi pembangkangan mereka sebagaimana yang dituturkan al-Walîd di atas.[11] Sebagaimana Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan di negeri ini, juga tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai benar dan tidaknya informasi tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver politik negara kafir, maka informasi tersebut tidak bisa dilihat semata-mata sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai manuver politik dengan tujuan dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir, seperti Amerika dan lain-lain.
Ini, misalnya, tampak ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang dipimpin Usamah bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001. Informasi ini sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan tetapi, sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan langkah-langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa disaksikan, manuver Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat fantastis. Taliban berhasil dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan kaki tangannya yang loyal, Hamid Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban berhasil diruntuhkan, digantikan dengan demokrasi ala Amerika; kemudian rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui kaki tangan dan seluruh kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah tersebut berhasil diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan. Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan Asia Tengah.
Karena itu, untuk merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika dan Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi niat jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu adalah musuh, dan hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka adalah hubungan permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka pertontonkan terhadap Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya umat Islam berpegang teguh pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Harayrah, sebagai berikut:
»اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ«
Peperangan itu merupakan tipudaya. (HR Muslim).
Karena itu, mereka tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari musuh mereka. Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang baik bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya, bukan berhadap-hadapan secara langsung.[12] Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan negara-negara kafir lainnya, karena mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan secara langsung dengan umat Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid. Kesadaran yang sama seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa memenangkan pertarungan ini.
Akan tetapi, sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh gendang Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk memerangi Islam dan umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama gendang yang ditabuh Amerika; bak kata penyair:
إذَا كاَنَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفِّ ضَارِبًا
فَسِيْمَاتُهُ أَهْلُ الْبَيْتِ كُلُّهُمُ الرَّقْسُ
Jika tuan rumah memukul gendang, seluruh penghuninya tampak menari.











DAFTAR PUSTAKA
§  Q. Shaleh, A. Dahlan dkk, 2000,  Asbabun Nuzuul, Dipenogoro, Bandung.
§  Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI.
§  Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV
§  Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI
§  Asy-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, juz V.
§  Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996.
§  As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III.
§  Al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI


[1]  Q. Shaleh, A. Dahlan dkk, Asbabun Nuzuul, Dipenogoro, Bandung, hlm 514
[2]Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI, hlm. 123
[3]Ibid; hlm. 124;  dan Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV, hlm.210
[4]  Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI, hlm. 312
[5]  Asy-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, juz V, hlm.60
[6]  Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 307 dan 315
[7]  As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III, hlm.231
[8]  Op.cit; As-Syawkani hlm.60
[9]  Op.cit;  Asy-Shâbûni, hlm. 233.
[10]    Al-Qurthûbi, juz XVI, hlm.311
[11]  At-Thabari, Ibid, juz XXVI, hlm.124
[12] Al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI, hlm. 158

1 komentar:

erinaruto mengatakan...

numpang ngopy...ahahahy

Posting Komentar

Reaksi

Labels

 
;