Senin, 02 Juni 2014 0 komentar

Nyamuk

Peringkat kedua dalam daftar sesuatu yang kubenci adalah nyamuk. Hewan bising ini berhasil menjadi runner-up setelah dibawahi hujan. Dari banyak aspek yang membuatku benci hewan mungil ini, alasan terbesar ialah: ia menyedot darahku. Tentu saja aku keberatan dengan hal ini, darah bagiku sesuatu yang kubutuhkan. Nyamuk itu begitu egois, dalam raganya padahal sudah diberikan sdemikian banyak darah untuknya tapi tetap saja memburu darah-darah manusia agar dia kenyang. Rupanya ia bersaingan dengan vampire menurutku. Bagaimana jika aku mulai menulis sebuah naskah film tentang vampire dan nyamuk? Mungkin bisa menjadi film box office yang ratingnya menjadi tertinggi, tapi bukan di negaraku. Negara ini lebih menyukai mengonsumsi sebuah tayangan yang memperlihatkan bagian tubuh wanita tapi masih bergenre horror katanya. Ah, vampire mungkin bisa menjadi bagian dari horror! Baiklah, setelah ini aku akan mencoba merangkainya menjadi suatu cerita. Tapi kuselesaikan yang ini dulu….
            Kuralat pernyataanku tadi, alasan terbesar mengapa aku sangat anti dengan hewan terbang ini adalah ia membuatku gatal. Ia juga meninggalkan bekas berupa titik merah dikulitku. Aku ingin tau nyamuk yang biasa menggigitku itu wanita atau pria, kalau pria mungkin aku bisa mewajarkannya. Pria otomatis akan menyukai wanita, berarti ia menyukaiku. Namun, kalau dia adalah seorang wanita –eh tidak pantas dengan sebutan wanita; betina saja – ia pasti iri denganku. Harusnya ada pengertian antar sesama yang berkromosom XX bahwa merawat tubuh itu penting (ya pasti jumlahnya berbeda, aku payah dalam pelajaran Biologi). Aku sudah mengocek tabungan untuk membeli hand body dan lulur yang bermerk agar tubuhku selalu terawat. Bintik merah pada kaki sangat mengganggu pemandangan, apalagi di sekitar lutut. Oh, sungguh itu adalah bagian kesukaan para nyamuk sepertinya. Kalau dilihat, seperti anak kecil yang tidak terawat saja, untungnya kulitku masih cerah.
            Takhanya bagian lutut ke bawah yang menjadi sasaran, nyamuk-nyamuk itu usil menggerayangi tubuhku. Tidak sedikit juga ia menggigit paha, perut, serta dadaku. Kurang ajar memang! Belum ada pria yang bisa menjamah tubuhku, tapi nyamuk-nyamuk genit itu sudah berhasil menyedot sedikit darahku ketika terlelap. Saat tidur, semua orang tidak sadar akan sesuatu yang menimpa dirinya, maka ketika si nyamuk sedang beraksi spontan tangan kita akan berusaha mengusiknya. Dengan kata lain, nyamuk ini menjadi pengadu domba untuk bagian tubuhkita, bahwa dengan tidak sengaja kita akan melukai tubuh kita sendiri dengan tamparan pada tubuh kita. Sistem syaraf kita toh tidak akan berhenti bekerja meskipun kita tertidur, bahkan si serangga tengil ini senantiasa membangunkan secara paksa dari tidur! Jelas ia hewan pengganggu! Harusnya mereka musnah!
            Ah, andaikata aku memiliki jurus ampuh untuk melawan sesuatu, tentulah yang akan kumusnahkan pertama kali adalah nyamuk! Ada suatu pertanyaan yang membenaki perasaanku: ada berapa banyak populasi nyamuk di bumi? Takperlulah di bumi, di Indonesia saja! Oh, Indonesia terlalu luas, populasi nyamuk di rumahku! Di kamarku! Apa perlu seminggu sekali rumahku di fogging?
0 komentar

Hujan dan Kebencian Perempuan

Aku hanya seorang perempuan yang sama, yang hidupnya tak jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan lainnya. Membicarakan pria, bersolek untuk mempercantik diri, menggunjingkan seputar perempuan lain, dan menyaksikan film romantis dengan pemeran pria yang sangat tampan. Bedanya, aku membenci hujan dan perempuan lain lebih menyukai hujan. Katanya, hujan itu dapat membangkitkan memori, hujan itu romantis, hujan itu mengerti suasana hati dan diutamakan bagi perempuan yang sendu. Opini-opini itu menjadi milik sejuta umat ketika hujan turun serempak di berbagai penjuru belahan bumi, manusia yang terkungkung dalam sebuah kamar akan merasakan kegalauan. Galau, kata yang populer sejak tahun 2010. Aku sempat mengenal kata itu tapi tidak pernah disapa di kala hujan. Aku bangga dan tidak merasa terkucilkan karena tidak galau karena hujan. Lagipula aku bukan pengikut tren.
Hujan selalu meninggalkan sebuah bekas, berupa genangan air, titik-titik air yang berdiam dan kemudian melesap beberapa saat setelahnya. Hujan membawa sebuah rona bahagia pada penikmatnya, membawa kegelisahan bagi beberapa perasa, membawa kenangan untuk yang ditinggalkan, dan juga membawa kebencian dari sebuah alasan yang terkadang tidak berdasar. Ketibaan hujan yang tepat dengan sebuah penanda menjadi saat yang dinanti atau dibenci bagi sebagian insan tapi tidak dengan hujan yang secara tidak sengaja membasahi bumi yang masih belum mengentaskan rindunya dengan kering. Aku, bukan si pecinta hujan. Aku, bukan si penanti hujan. Aku, bukan perasa yang gelisah saat hujan. Tapi aku pernah menjadi semua bagian dari itu, dulu. Aku, si pembenci hujan.
 Mungkin jika berwujud manusia, ia akan mengusirku. Pasalnya sejak berumur 5 tahun hingga beranjak ke umur 20 aku tinggal di kota yang memiliki sebutan Kota Hujan. Aku, si pembenci hujan. Banyak yang bilang padaku untuk pantang mengatakan ”aku benci hujan.” dengan satu alasan yang selalu sama: hujan adalah anugerah dari Tuhan. Untuk alasan itu, aku tidak dapat menampiknya. Ya, hujan memang anugerah bagi yang mengandalkan hidupnya di balik runtuhan air yang menjatuhi bumi itu, misal seorang tukang ojek payung, yang senantiasa menawarkan jasanya di pusat perbelanjaan, di pasar, terminal, dan banyak tempat orang berkumpul. Tapi bukan aku. Aku, si pembenci hujan.
Sudah kukatakan di atas tadi, ada yang membenci hujan tanpa alasan yang berdasar dan itu adalah aku. Takpeduli aku apapun kata orang-orang yang menafsirkan hujan dengan beribu kata, berjuta alasan, dan beratus definisi mengenainya. Sekali aku membencinya, itu selamanya. Hampir setiap yang mengetahui kebencianku ini memberikan peringatan untuk tidak mengatakan ”benci”, katanya itu terlalu sinis dan mereka kemukakan bermacam alasan yang sudah lama kudengar juga sebelumnya. Baiklah, aku koreksi sedikit. Aku, bukan si pembenci hujan, hanya sangat tidak suka dengan hujan. Nah, apa bedanya? Sama saja? Lebih baik sinis sekalian kan, toh aku juga tidak mengingkari Tuhan.
 Hujan berupa titik-titik air yang datang berpasukan. Aku suka air, tapi tidak air hujan. Air hujan selalu berusaha mendekatiku dengan ukuran mungilnya seakan ingin sekali mengakrabkan diri denganku. Mungkin ia tahu kalau aku tidak menyukainya. Aku merasa cukup bersahabat dengan air di kamar mandi, air mencuci, serta air minumku. Hujan seringkali merubah mataku yang awalnya bebinar menjadi takbersinar ketika ia datang, apalagi jika tiba-tiba tanpa pertanda sebuah mendung.
Aku yakin, hujan pernah menahan setiap orang di saat yang tidak tepat. Aku ambil contoh, ketika dulu sedang dalam perjalanan menuju sekolah dan semua murid masuk pukul tujuh pagi. Aku berangkat pukul enam dengan menggunakan kendaraan umum, pagi itu cuaca tidak menunjukkan akan turun hujan. Tiba-tiba pukul 6.30 hujan turun bersamaan saat aku turun dari kendaraan umum dan harus menyambungnya dengan kendaraan lain untuk menuju sekolah. Aku harus berteduh, sementara hujan begitu deras. Orang-orang yang tertahan denganku karena hujan kuyakin akan membenci hujan dikala itu karena berpacu dengan waktu. Dalam pendek kata, hujan (menungkinkan) dapat membuat datang terlambat. Dan akibatnya tidak perlu aku jelaskan karena hal itu akan menjadi sangat panjang. Hujan dan waktu adalah sahabat musiman. Mereka bersahabat walau kadang ada salah satu dari mereka yang tidak memahami satu sama lain.
 Membuat repot. Ya, hujan membuat beberapa orang kerepotan. Seperti seorang ibu rumah tangga yang selalu berperan dalam kegiatan rutin mereka mencuci-menjemur-menyetrika baju setiap anggota keluarga. Ketika musim hujan tiba, menjemur baju harus mencuri-curi waktu dikala matahari kalah oleh jutaan air yang turun dari langit. Otomatis, jemuran mereka akan lama mengering dan lama untuk dipakai kembali. Asumsikan baju yang digunakan adalah yang penting untuk melamar suatu pekerjaan bagi si kepala keluarga. Ketika ia dipanggil untuk melakukan interview, ia akan kebingungan mencari baju lain yang lebih layak dipakai sementara si ibu rumah tangga mencoba menyetrika baju tersebut dan hasilnya sia-sia belaka. Bajunya tetap saja basah. Lalu di saat yang sama, anak mereka simpanan kaus kakinya habis untuk dipakai ke sekolah karena kaus kaki yang lain masih dicuci, itupun akibat terkena basahnya hujan. Ya, hujan terkadang membuat repot. Beruntung bagi mereka yang memiliki stok pakaian banyak, namun bagaimana dengan yang lainnya?
Menggagalkan kesenangan orang. Aku seringkali terjebak oleh hal ini. Aku adalah seorang perempuan yang normal, aku menyukai seorang pria. Suatu hari aku diajak (aku menyebutnya) berkencan, karena kami hanya pergi berdua. Sebelum pergi aku memilih pakaian yang sangat cocok untuk kukenakan agar ia juga tertarik melihatku, umumnya wanita seperti itu kan? Sesaat ketika aku akan berangkat, gerimis datang. Kami sempat membahas kencan kami lewat ponsel, katanya tunggu hingga reda. Sampai 3 jam kemudian gerimis itu takkunjung menghilang, melainkan digantikan dengan hujan yang begitu deras. Dapat ditebak, aku gagal kencan. Aku masih bersyukur karena masih di dalam rumah. Terbayang kusutnya wajahku apabila sedang dalam perjalanan berkencan dan hujan turun.
 Hal yang paling membuatku muak tentang hujan adalah melunturkan dandananku. Aku butuh waktu lebih kurang 20 menit untuk mempercantik wajahku (yang memang sudah cantik) sebelum bepergian. Memang aku sering kurang percaya diri tanpa olesan bedak, pelembab bibir, dan juga maskara. Yang terakhir adalah temanku, bermusuh dengan hujan. Pernah beberapa kali maskaraku luntur akibat kejatuhan air hujan. Saat itu aku tengah menunggu bus kota dipinggir jalan, aku hendak ke kantor. Tiba-tiba hujan turun dan airnya membasahi wajahku. Bedakku seketika luntur bersamaan dengan maskara yang baru aku bubuhkan di bulu mataku yang lentik. Mataku hitam seperti panda, melebihi hitamnya kantung mata Pak SBY. Sesampainya di kantor, bukannya terlihat segar, aku justru terlihat lusuh dengan tampilan seperti itu. Juga ujung rokku basah karena genangan air dipinggir jalan saat aku buru-buru naik bus. Rambut panjangku pun terlihat lepek, persis seperti tikus yang tercebur di selokan. Menjijikkan.
 Lantas, masihkah ada alasan untuk aku menyukai hujan? Ia sungguh membuatku resah. Datangnya taktentu. Seringkali aku merasa sia-sia membawa payung di dalam tas. Saat aku memperkirakan cuaca yang mendung, aku selalu membawa payung tapi hari itu air tidak menetes setitikpun ke bumi. Dan ketika aku keluar rumah dengan teriknya sinar mentari, di tengah hari hujan turun bersamaan dengan aku yang tidak membawa payung. Hujan memang bermusuhan denganku. Atau hanya aku yang memusuhinya.
 Baiklah setelah sekian hal yang aku kemukakan mengenai kebencianku tentang hujan, aku harus menyerah pada keadaan bahwa hujan pernah menyelamatkan aku dari sebuah tragedi, seseorang yang pernah berarti untukku tepatnya. Dulu aku mempunyai seorang pacar dan ia hendak berlibur dengan beberapa temannya. Tujuan mereka adalah Bali, mereka menggunakan pesawat. Taktahu apa yang ada dipikiranku, saat ia minta izin untuk berangkat aku melarangnya. Padahal dua hari sebelumnya aku menganggukkan kepala begitu saja. Inikah sebuah firasat atau hanya celoteh yang keluar tanpa mengandung makna? Saat aku melarangnya, sempat aku bertengkar beberapa saat dengan dia hingga akhirnya dia memaksakan diri untuk tetap ikut. Di perjalanannya menuju bandara hujan sangat deras dan terjadi kecelakaan lalu lintas yang membuat macet di salah satu ruas jalan menuju bandara. Alhasil kemacetan dan hujan menahannya. Juga membatalkan rencana berlibur karena teritnggal pesawat. Malam harinya ada berita di televisi mengenai kecelakaan pesawat yang berada di Bali, tidak ada yang tewas tapi beberapa korban luka berat. Aku hanya membayangkan saat itu kekasihku menjadi salah satu penumpang di dalamnya, tidak tahulah. Tuhan telah menyelamatkannya melalui hujan.
 Sudah kukatakan bahwa hidupku tidak jauh berbeda dengan perempuan lainnya. Bedanya aku membenci hujan, sementara perempuan lain begitu menyukai hujan. Beberapa kebencianku terhadap hujan juga sebenarnya sederhana, tapi hal sederhana yang membuat runyam sungguh tidak sederhana untukku. Maafkan aku Tuhan atas rasa benciku terhadap karunia-Mu. Namun, aku selalu merasa beruntung ketika hujan turun begitu deras saat malam hari dan aku berada di rumah, tempat yang nyaman dan tidak membuatku basah. Seperti malam ini, aku menuliskan tentang hujan di tengah hujan tengah malam dengan ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh.
***

0 komentar

Penulis Perempuan Keren!

Baru aja tadi siang nyadar tentang buku-buku yang gue baca sekitar dua mingguan ke belakang adalah (sebagian besar) karya penulis perempuan Indonesia. Jadi kepengen curhat-curhat dikit ah.

T(w)itit!
Gue mulai dari baca T(w)itit! – Djenar Maesa Ayu, adalah kumpulan cerita pendek Djenar dan ini buku pertamanya yang gue beli. Beberapa waktu lalu sempet nonton “Mereka Bilang, Saya Monyet!” yang diangkat dari cerpen Djenar juga. Waktu baca di cerita pertama, ternyata nama tokohnya adalah Nayla, di cerita berikutnya pun Nayla. Nah, gue agak bingung, ini cerpen atau novel? Ternyata eh ternyata memang cerpen, cuma Djenar memang selalu menggunakan tokoh Nayla di setiap cerpennya. Ini unik banget, pikir gue. Mengenai Nayla, salah satu temen emang pernah baca novel Djenar yang berjudul Nayla, jadi gue mangambil kesimpulan Djenar menggunakan nama itu sebagai hmm ciri khasnya dia. Hehehe sok tau banget ya :p
Yang gue suka dari tulisan beliau adalah ada nadanya, misal pada kalimat pertama bunyi akhirnya adalah ”-nya”, kemudian di kalimat kedua juga dan selanjutnya sampe di kalimat terakhir paragrafnya. Baru memulai alinea baru dengan nada yang beda dari sebelumnya. Gak bikin bosen ngebacanya karena beliau punya banyak kata-kata untuk ditulis dalam ceritanya. Wow! Cerpennya secara garis besar tentang kehidupan perempuan, dari mulai seorang anak perempuan, perempuan selingkuhan, ibu dari anak perempuan, penulis perempuan, pokoknya segala perempuan!

(Sebenernya setelah baca Twitit gue baca Perkara Mengirim Senja dan di kata pengantar antologi cerpen persembahan untuk Seno itu, gue baru tau rupanya Seno itu menjadi inspirasi bagi Djenar dalam menulis tokoh, yang sering menggunakan Nayla. Kalau Seno tokohnya Sukab dan Alina. Waktu tau, gue langsung nyeletuk ”Oooooh, gitu toh!”)

Filosofi Kopi
Kedua, gue dipinjemin Filosofi Kopi-nya Dewi Lestari sama teman yang bernama sama dengan gue. Hehehe. Belum selesai semua sih, tapi sebanyak yang gue baca memang errrrrr…. touching! Mulai dari “Filosofi Kopi” (yang menurut gue menginspirasi temen gue si peminjam buku ini pengen punya kedai kopi), “Sikat Gigi”, “Mencari Herman”, dan semua prosa dalam buku ini. Ah, suka! Seperti dulu selesai baca Recto VersoMadre, dan Perahu Kertas. Dewi Lestari tuh…. aaaaah, yah begitulah! Keren! Dan gue sedang mengatur waktu yang tepat untuk bacaPartikelThis weekend, I promise! :D
Gue inget perkataan dosen Penulisan Kreatif, waktu itu di kelas salah satu mahasiswa ada yang nanya mengenai cerpen sains-fiction (entah ini benar atau nggak penulisannya), apakah termasuk ke dalam fiksi atau nonfiksi. Jawabannya fiksi, tentu disertai riset. Nah, dosen gue menjelaskan bahwa Dewi Lestari adalah salah satunya. Beliau juga ngasih contoh karya-karya Dee seperti Madre tentang biang roti dan Filosofi Kopi tentang berbagai jenis kopi, termasuk dalam sains-fiction bidang kuliner. “Oh iya, bener! Gue baru ngeuh!” – kata gue setelahnya. Begitu kuatnya Dewi Lestari nih, gue inget salah satu kutipannya, ”Kalau mau satu, jangan ambil dua. Satu itu menggenapkan dan dua melenyapkan.” Hehehehe.

Sanubari Jakarta
Bacaan karya perempuan selanjutnya yang gue baca adalah Sanubari Jakartakarya Laila ‘lele’ Nurazizah. Buku ini adaptasi dari film ke buku. Kalo dari film ke novel namanya novelisasi, terus dari film pendek ke cerita pendek apa namanya? Cerpenisasi kah? Ah, yang jelas alih wahana lah ya. Gue emang sempet liat posternya di bioskop tapi gak tau kapan film itu diputar, tiba-tiba aja udah ada bukunya! Ya udah, mending gue baca bukunya, biar gak penasaran juga kan. Dan ketika baca…. JENG, JENG, JENG! I’m shocked. Dalam buku itu terdiri dari 10 cerita yang semuanya mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender). Sutradara dari film-film ini juga kebanyakan perempuan, 3 diantaranya yang gue kenal di TV tuh ada Dinda Kanyadewi, Kirana Larasati, sama Lola Amaria; mereka keren!
Setelah selesai sampai cerita ke-3, gue berasa gak kuat lagi. Percintaan sesama jenis dan ada beberapa hubungan yang gak wajar dalam buku ini ditulis dengan sangat detail. Errrr, kalo disuruh milih, mending gue baca cerita stensilan! Baca tentang gay aja gue ngerasa agak-gimana gitu, apalagi tentang lesbian. Gue cewek, ngebaca tentang percintaan cewek dengan cewek. Astaga! Kadang suka ternganga sama fakta yang ada. Gak jarang gue nyeletuk atau sekadar “iyuuuh” waktu ngebacanya tapi memang begitu adanya.. Gue belum nonton filmnya sih, jadi waktu baca bukunya ngerasa biasa aja. Oh iya, dalam salah satu cerita di sini, tepatnya di “Terhubung” ada bagian yang ngingetin gue dengan cerpen ”Sikat Gigi” dalam Filosofi Kopi-nya Dee. Gue agak kaget sih, kok bisa sama ya? Hehehe.

Larung
Next, I read Larung – Ayu Utami. Ini adalah dwilogi A.U setelah Saman. Udah lama banget gue cari buku ini, akhirnya nemu juga di perpus kampus. Dan mendapati covernya yang sama sekali nggak menarik. Ayu Utami itu keren juga! Hahahaha semua aja gue bilang keren. Gimana ya nulisnya? Bagian awal cerita memang langsung ke pengenalan tokoh Larung (sebelum gue baca novel ini, gue cari di KBBI arti kata larung, yaitu melepaskan. Kirain gak bakal jauh beda dari itu. Ternyata, salah besar!) dan kehidupannya. Dia membunuh neneknya dengan cara yang menurut gue keren. Pake ilmu kedokteran, tokoh Larung sebagai lulusan anak FK tau betul menyayat mayat yang baik. Emang sih, rada ngeri juga ngebayanginnya, ngebunuh nenek sendiri, motong-motong bagian tubuhnya, untuk nyari susuk si nenek. Ada ngeri antara sadis dan mistis.
Terus, ke bagian selanjutnya adalah kehidupan empat sekawan, Laila Gagarina, Yasmin Moningka, Cok, dan Shakuntala. Pertama yang menceritakan dirinya itu Cok dengan kehidupan liarnya. Buat yang mengira Saman dan Larung adalah novel vulgar, tentang seks, nah emang di bagian Cok cerita novel ini jadi sangat vulgar. Cerita pertemuan Laila, Saman, dan Sihar di New York! Aha! Agak rumit sih kisah cintanya mereka. Laila jadi selingkuhan Sihar, Sihar di New York sama istrinya, terus ada Saman yang jadi selingkuhan Yasmin, sahabat Laila. Nah, dulu Laila sempet nyimpen perasaan sama Saman. Kasihan Laila, Sihar milih istrinya, Yasmin sama Saman saling cinta, Laila malah didemeinin sama Shakuntala, sahabatnya, yang ternyata lesbian. Bingung kan? But, di akhir cerita lebih menceritakan tentang Larung yang kerjasama dengan Saman untuk ngebawa kabur tiga orang yang menjadi buronan di Indonesia. Pokoknya Larung keren, Ayu Utami terutama! Pasti beliau tau banyak banget tentang ilmu bedah, tentang supranatural, tentang penari, tentang intel, dan tentang dunia politik di Indonesia!

Nayla
Dan yang baru semalam kelar gue baca adalah Nayla karya Djenar. Akhirnya gue memutuskan untuk baca novel ini, waktu nyari Larung, ternyata nemu juga novel ini. Ya udah, gue pinjem deh, hehehe. Nayla menurut gue gila! Bisa pacaran sama cewek dan cowok, kehidupannya gak monoton, dan mengingatkan gue sama Titi Sjuman di film “Mereka Bilang, Saya Monyet!”. Alurnya memang maju mundur, tapi bikin ngerti. Tulisannya apa adanya Djenar, dalam novel itu ada cerpen, ada email-emailan, ada sms-sms, ada wawancara dengan media-media, ada headline di media cetak, serta ada dialog antara Nayla yang bidadari dan kuntilanak. Cool!

Jadi, dari sekian buku yang gue baca, semua gue bilang keren. Semua karya perempuan Indonesia dengan cara menulis yang berbeda. Bahkan setiap buku yang gue baca, pasti gue bilang keren. Emang mereka hebat, bisa nulis bagus, dan emang punya tempat di dunia penulisan! Aaaaah! Keren, keren, keren! Hehehe.

Sekian :)
2 komentar

Aku, Kamu, dan Kacamata

Aku adalah mata sebelah kiri, penglihatanku tidak sempurna. Saat kamu berada tepat di depanku saja baru jelaslah terlihat dirimu. Aku butuh bantuan.
Kamu adalah mata sebelah kanan, penglihatanmu juga tidak sempurna. Jarakku yang begitu jauh membuat aku begitu asing untukmu.Kamu butuh bantuan.
Dan kacamata adalah alat bantu kita. Mata kita memiliki besar rabun yang berbeda, tetapi saat menggunakannya kita dapat melihat segala sesuatu lebih jelas. Melihat lebih jelas tentang apapun, melihat sangat jelas mengenai kita.
Mungkin seperti itu tentang cinta dan kita.
Aku adalah Perempuan, aku berdebar begitu kau dekatku. Aku adalah Perempuan, aku resah begitu kau jauh. Aku adalah Perempuan, aku cemburu begitu kau terlihat bahagia selain denganku. Aku adalah Perempuan, aku telah berusaha sabar menahan rindu untuk bertemu.Aku adalah Perempuan, aku membencimu setengah mati begitu kau merangkul mesra Wanita itu. Aku adalah Perempuan, aku menangis begitu kesabaran untuk menghadapimu seperti akan habis. Aku adalah Perempuan, aku rela memaafkanmu begitu kau datang dan meminta untuk kembali. Aku adalah Perempuan, yang pada akhirnya selalu jatuh cinta padamu.
Kamu adalah Laki-laki, yang memberikan aku banyak cinta, memberikan aku banyak tawa, dan juga memberikanku banyak tangis. Kamu adalah Laki-laki penguji kesabaranku, berselisih adalah sesuatu yang pantas dan akan selalu kita lakukan. Kamu menjadikanku kebal, akan semua hal. Walau kadang terlintas untuk menyerah, tapi kamu membuat aku tidak terlintas ada kata berhenti.
Ternyata pertengkaran, kesalahan, dan air mata membuat aku jatuh cinta. Entah aku bodoh atau memang tertawan olehmu, mengenal yang lain tidak akan membuatku cinta seperti ini. Kamu yang pernah menghadirkan orang lain pun menyerah dan mengenyahkannya sendiri. Entah aku bodoh atau memang tertawan olehmu, memaafkanmu tidak akan membuatku menyesal.
Mungkin kita hanya lelah untuk memulai sesuatu yang baru dengan orang baru. Kita telah terlalu merasa nyaman dengan semua ini. Berkali-kali jatuh, hanya aku yang akan kamu minta untuk bertahan. Kita hanya perlu menjalani ini pelan-pelan, tanpa perlu bertanya akan ke mana dan di mana akhirnya.

Kamu dan aku adalah dua manusia biasa yang menjadi tidak biasa saat bersama. Aku menyebutnya istimewa.
0 komentar

Aku Kangen Kamu.

”Kamu selingkuh ya?”
”Kok kamu nuduh gitu?”
“Kamu gak pernah bilang kangen sama aku. Kita udah hampir setengah tahun gak ketemu loh.”
”Baru setengah tahun..”
”Hih, setengah tahun kok baru? Gila yah kamu..”
”Hehe..”
”Kamu nggak kangen sama aku gitu?”
”Hehehe..”
”Kamu kok malah ’hehe-hehe’ terus sih?”
Kata ‘kangen’ atau ’rindu’ masih enggan keluar dari mulutmu, suaramu di ujung telepon sana terdengar datar dan dingin. Kamu hanya akan terkekeh dan aku terus merajuk memintamu mengatakan rindu.
Kau tahu kenapa aku begitu? Karena rindu ini milik siapa pun belum aku tahu. Seperti milikku, tapi bukan milikku. Seperti untukmu, tapi masih ada ragu. Jadi, biar ini menggantung dan biar aku berdialog dengan diriku sendiri saja untuk membicarakannya.
Aku sedang mencari tempat agar kau dan aku tak ditemukan orang-orang. Mungkin bisa kita tinggal di hutan, akan kubuat sebuah rumah yang hangat untuk tempat kita tinggal. Kamu yang akan memberikan ide dan kita bersama-sama membangunnya, hanya berdua. Cukup kamu dan aku yang ada di sana, tetangga adalah binatang-binatang hutan yang telah dijinakkan oleh kita. Kita akan hidup selamanya. Sedihnya, ini masih dalam angan-anganku, aku sedang dalam perjalanan. Kau sudah merengek, meminta bertemu.
Bukankah belum ada kesepakatan antara kita? Dan setengah tahun adalah waktu yang cukup sebenarnya untuk mengukuhkan bahwa memang tidak ada hubungan antara kau dan aku? Namun, kamu terus mencari, dan aku juga ikut berlari, kita tidak bertemu di suatu titik. Kau pergi ke arahku sementara aku menjauh darimu. Tiada pernah habis. 
Kita adalah dua insan yang sedang membutuhkan satu sama lain, kamu hanya mengiranya aku dan aku pun begitu. Semestinya kita bergerak pada kenyataan bahwa kita selamanya takkan pernah bertemu lagi. Kita hanya membohongi diri, saling menunggu. Seakan nanti benar-benar akan datang. Tapi, rindu untukmu adalah tulus. Hanya kata itu tak mampu kusebutkan, begitu takut aku semakin mengkhianati kenyataan.

Labels

 
;