”Kamu selingkuh ya?”
”Kok kamu nuduh gitu?”
“Kamu gak pernah bilang kangen sama aku. Kita udah hampir setengah tahun gak ketemu loh.”
”Baru setengah tahun..”
”Hih, setengah tahun kok baru? Gila yah kamu..”
”Hehe..”
”Kamu nggak kangen sama aku gitu?”
”Hehehe..”
”Kamu kok malah ’hehe-hehe’ terus sih?”
Kata ‘kangen’ atau ’rindu’ masih enggan keluar dari mulutmu, suaramu di ujung telepon sana terdengar datar dan dingin. Kamu hanya akan terkekeh dan aku terus merajuk memintamu mengatakan rindu.
Kau tahu kenapa aku begitu? Karena rindu ini milik siapa pun belum aku tahu. Seperti milikku, tapi bukan milikku. Seperti untukmu, tapi masih ada ragu. Jadi, biar ini menggantung dan biar aku berdialog dengan diriku sendiri saja untuk membicarakannya.
Aku sedang mencari tempat agar kau dan aku tak ditemukan orang-orang. Mungkin bisa kita tinggal di hutan, akan kubuat sebuah rumah yang hangat untuk tempat kita tinggal. Kamu yang akan memberikan ide dan kita bersama-sama membangunnya, hanya berdua. Cukup kamu dan aku yang ada di sana, tetangga adalah binatang-binatang hutan yang telah dijinakkan oleh kita. Kita akan hidup selamanya. Sedihnya, ini masih dalam angan-anganku, aku sedang dalam perjalanan. Kau sudah merengek, meminta bertemu.
Bukankah belum ada kesepakatan antara kita? Dan setengah tahun adalah waktu yang cukup sebenarnya untuk mengukuhkan bahwa memang tidak ada hubungan antara kau dan aku? Namun, kamu terus mencari, dan aku juga ikut berlari, kita tidak bertemu di suatu titik. Kau pergi ke arahku sementara aku menjauh darimu. Tiada pernah habis.
Kita adalah dua insan yang sedang membutuhkan satu sama lain, kamu hanya mengiranya aku dan aku pun begitu. Semestinya kita bergerak pada kenyataan bahwa kita selamanya takkan pernah bertemu lagi. Kita hanya membohongi diri, saling menunggu. Seakan nanti benar-benar akan datang. Tapi, rindu untukmu adalah tulus. Hanya kata itu tak mampu kusebutkan, begitu takut aku semakin mengkhianati kenyataan.
0 komentar:
Posting Komentar
Reaksi