Selasa, 08 Januari 2013

Berharap itu menyakitkan yaaa :’( Hiks


 

Musim penghujan bulan Desember di penghujung akhir tahun 2012, sejak malam gerimis itu datang membuncah membungkus tiap kota. Puluhan Kota Besar seperti Jakarta, Yogyakarta, Banyuwangi, Bali dan Malang dipenuhi ribuan lautan manusia yang datang untuk merayakan puncak malam pergantian tahun baru, gemuruh suara dentuman petasan dan terompet seakan menghayutkan lautan ribuan manusia akan keindahan eksotisnya dunia malam. Semoga bunyi tersebut bukan niatan untuk mengalahkan suara gemuruh petir yang juga datang bersama rintik hujan yang tak diundang

 Pagi itu dingin sekali, suasana semalam masih terasa. Aku berlari-lari kecil, menuju halte dekat kost-an. Hari pertama kuliah tahun ini, 2013 Sekaligus senin pertama tahun ini, aku ujian akhir semester dengan materi ujian Peradilan Militer, walau sifat ujian kali ini open-book namun tetap saja banyak dari teman-teman mahasiswa yang tidak percaya dengan jawabannya sendiri. Kebiasaan mencontek di SMP-SMA dulu turun temurun membudaya bahkan hingga cucu anak mereka kelak. Mereka tak peduli akan suatu nilai proses, serba instan yang jadikan mereka mahasiswa yang kurang respect dengan hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan atau nilai materi tersendiri bagi mereka.

Langit kota Jogja kini terlihat muram, tidak seperti biasanya, awan kehitam-hitaman menggantung, Aku berbisik pelan semoga hari ini tidak berjalan menyedihkan dan membosankan. Disamping itu, aku melihat dirinya di kampus tadi  tampil begitu memukau dan membuatku terpesona, ia tampil lebih feminin, berbeda seperti biasanya yang tampil urakan, tomboy dan tidak peduli dengan orang sekitar. Mungkin ia menyadari bahwa tahun-tahun sebelumnya banyak stigma negatif tentang dirinya yang tak terbiasa mengurus orang lain apalagi mengurus suaminya kelak, lha ngurus sendiri aja belum becus, untuk yang satu ini, “berdandan (red; bersolek). Percaya atau tidak itulah yang terjadi. Ia sosok wanita yanag datang dalam kehidupanku begitu cepat tanpa dimulai dengan sapa dan tanya, ngerasa langsung akrab aja padahal belum pernah tahu karakter dirinya seperti apa. Dan Inilah awal kisah menyedihkan itu ……………………..

#

Pagi itu seisi bus terlihat muram, mungkin setelah liburan akhir tahun yang menyenangkan, kembali beraktifitas seperti kuliah, kerja dan segalanya bukanlah hal yang bisa membangkitkan antusiasme. Belum lagi kenangan yang terjadi di perayaan malam penutupan akhir tahun 2012 jelang tahun baru kemarin, membuat mereka jengah dan enggan untuk kembali beraktifitas seperti biasanya. Begitupula dengan diriku yang masih merasa kurang dengan waktu liburan yang disediakan oleh kampus. Rasanya baru kemarin datang ke Banten, sekarang sudah dituntut untuk kembali ke Jogja untuk melanjutkan kembali perjuangan yang tertunda.

#

Setelah ujian Peradilan Militer aku langsung turun menuju lantai 3 untuk menunaikan Sholat Dhuha yang belum sempat kulaksanakan pagi tadi, rasanya ada yang kurang. Setelah menunaikan sholat dhuha aku tergesa-gesa menuruni puluhan anak tangga, hampir saja aku terjatuh dan bakal menjadi bahan tertawaan satu kampus, beruntung ia menahan tanganku hingga dirinya pun hampir terperanjat bersamaku. Kuucapkan terima kasih kepadanya, ia hanya membalas dengan senyuman dan berkata lirih “lain kali hati-hati”. Disitu aku merasakan ada tatapan yang berbeda, tatapan yang berarti harapan, tatapan dari mata seorang wanita yang membuatku terpenjara karena mata indahnya, tertambat hatiku karenanya. Tidak hanya cantik paras wajahnya namun cantik pula perilakunya. Sempat berkata dalam hati berdo’a “semoga ia menjadi istriku kelak”. Setelah kejadian itu, aku makin bersemangat pergi ke kampus hanya untuk melihat mata indahnya, walau sebenarnya hari ini tidak ada jadwal ke kampus aku tetap datang menanti dirinya melintas di depanku, dua jam berlalu aku masih setia menunggunya berharap ia datang namun hingga hari petang ia tak kunjung datang, aku pun merasa ada hal yang janggal setelah kejadian ini. Besoknya aku kembali datang berniat melihat dirinya di kampus tapi hingga seminggu ia tak kunjung datang, apakah ia sakit? Apakah ia marah kepadaku? Aku mencoba mencari tahu kabarnya lewat teman-temannya tapi mereka pun tak pernah tahu kabar dari si Zidna Ilma, ya namanya Zidna ‘Ilma. Aku baru tahu, kutanya mereka alamat rumahnya, dan kudapati alamatnya tidak jauh dari kampus. Aku berjanji dalam hati, setelah mengajar sore nanti aku mampir ke rumahnya untuk mencari tahu kabarnya, tak kusangka ada janur kuning depan rumahnya kulihat depan rumahnya tertulis Spanduk besar  bertuliskan “Mohon Do’a Restu”. Aku kaget sekali, aku jatuh tersungkur tak kuasa tuk melanjutkan membaca kalimat tadi, namanya terpampang jelas sekali, tanpa kabar, tanpa undangan dia telah menikah dengan seorang dosen yang amat kukenal. Apa yang harus kuperbuat? Rasanya hati ini hancur berkeping-keping tersayat oleh sembilu yang sangat tajam. Mengapa ia tega lakukan ini semua padaku? Mengapa begitu cepat harapan ini hancur musnah? Padahal baru minggu kemarin rasanya ia memberi sinyal harapan untuk meminangnya, tapi mengapa ini yang terjadi?

#

Seminggu kemudian kutelusuri dan kucari info tentang keluarganya, ternyata ia dipaksa menikah di usia dini karena keluarganya terlilit hutang dan apesnya dia yang menjadi korban dari kebiadaban rentenir dan orang tuanya yang sebenarnya tak tega terpaksa menjual anaknya untuk menebus segala hutang-hutang keluarganya yang semakin bertambah karena bunga dari hutang tersebut. Apa yang harus kuperbuat sedangkan aku saja untuk kehidupan sehari-hari masih harus bekerja part-time di luar sana. Tak mungkin aku datang mencoba menjadi pahlawan kesiangan membayar lunas hutang-hutangnya.

Sempurna sudah tiga bulan setelah pernikahannya aku tak pernah berbincang dengannya, hingga suatu waktu ia mendatangiku dan menceritakan semua tentang kehidupannya dan keluarganya. Ia terpaksa melakukan itu semua demi membalas budi orang tua yang telah mengasuhnya sejak kecil, ia sebenarnya ingin berontak tapi apa daya, nasi telah menjadi bubur. Semua telah terjadi tanpa pernah ia meminta dan mengharap. Semua skenario kehidupannya telah diatur oleh Sutradara yang Maha Agung dan ia menerima semua itu dengan lapang dada, ikhlas tanpa mengaharap balas. Tak kuasa diri ini meneteskan air mata yang mengalir deras bak hujan yang tak kunjung reda bulan ini setelah tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Bulan April masih sama dengan musim penghujan, sejak malam gerimis itu datang membuncah membungkus tiap kota, memaksaku meringkuk berbaring di kamar kost,  memandang hujan lewat jendela begitu derasnya, pada akhirnya semua hanya kembali pada satu hal yang nyata, tak ada hidup tanpa jarak dan tanya merama-rama. Semua hanya kamuflase dunia yang  tak luput dari harap dan dosa semata.

El-Fath

0 komentar:

Posting Komentar

Reaksi

Labels

 
;