KEWAJIBAN TABAYYUN DALAM SETIAP MERESPONS
INFORMASI
MAKALAH
Diajukan guna
memenuhi tugas kelompok
dalam mata
kuliah Tafsir Ahkam
Disusun
oleh:
Sumarno 10340124
Dosen: Fuad Mustafid
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
Puji syukur
kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kita nikmat Iman, Islam, dan Ihsan
serta nikmat sehat hingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini . Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
sosok pendekar yang tak gila gelar sayyidul anam Nabi Muhammad Saw yang dapat
mengantarkan kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Selanjutnya, setelah
memuji Allah dan bershalawat atas Nabi, kami
disini akan mencoba menguraikan makalah yang berjudul “Kewajiban Tabayyun Dalam Setiap Merespons
Informasi”.
Dimana dibuatnya tulisan ini, yaitu untuk memenuhi tugas mata kuliah “Tafsir Ahkam”. Makalah ini juga mencoba mengupas secara khusus tentang tabayyun dalam merespons setiap informasi . Jika pemahaman
dari para pembaca belum jelas, para pembaca dapat mencari buku-buku referensi
yang telah kami bubuhkan dalam makalah ini atau dapat pula untuk saling
bertukar pikiran.
Demikian pula,
disadari oleh penulis bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi, metodelogi penulisan dan
analisisnya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan .
Mudah-mudahan makalah ini dapat
memberikan manfaat dan bisa memberikan jalan keluar dari masalah perpecahan
ummat dikarenakan terprovokasi informasi yang belum jelas tanpa adanya
tabayyun. Dan juga diharapkan makalah ini dapat
menjawab kejadian-kejadian yang direspons oleh Al-qur’an dari perspektif ulama
dan mufassir . Semoga Allah memberikan berkah dan rahmat kepada kita semua, khususnya penulis. Aamiin ya Rabbal’ Aalamiin…..
BAB I
PEMBAHASAN
بسم الله الرحمن الرحيم
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ
فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ.
6. Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
(Q.S. Al-Hujuraat :6)
Asbabun Nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Harits menghadapa
Rasulullah SAW. Beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun bersedia serta
berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rosulullah mengajaknya untuk mengeluarkan
zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata: “Ya Rosulallah, aku akan
pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang
yang mengikuti ajakanku akan kukumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya,
kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah kukumpulkan itu.”
Ketika al-Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu
yang sudah ditetapkanpun telah tiba, tak seorang pun utusan Rosulullah yang
menemuinya. Al-Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah
marah kepadanya. Ia pun memanggil para hartawan kaumnya dan seraya berkata :
“Sesungguhnya Rasulullah telah mentapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk
mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi
janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya
itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat mengahadap Rasulullah SAW.
Rasulullah saw. , sesuai waktu yang telah ditetapkan,
mengutus al-Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada
al-Harits. Ketika al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu
ia pun pulang sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia melaporkan laporan palsu
kepada Rasulullah bahwa al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan
mengancam akan membunuhnya.”
Kemudian Rasul mengirim utusan berikutnya kepada al-Harits.
Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya
yang tengah menuju ke tempat Rasulullah saw.. Setelah berhadap-hadapan,
al-Harits menanyai utusan itu: “kepada siapa engkau diutus?”. Utusan itu
menjawab : “kami diutus kepadamu.”Dia bertanya : “mengapa?”Mereka menjawab :
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengutus al-Walid bin Uqbah. Namun ia
mengatakan bahwa engakau tidak mau menyerahkan zakat, bahakan bermaksud
membunuhnya.”Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad
dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada satupun yang datang
kepadaku.”
Ketika mereka sampai dihadapan Rosulullah saw., bertanyalah
beliau “ mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?”al-Harits
menjawab : “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya,
aku tidak berbuat demikian.
(Diriwayatkan oleh Ahmad dan lain-lain, dengan sanad yang
baik, yang bersumber dari al-Harits bin Dlirar al-Khuza’i. Para perawi dalam
sanad hadits ini sangat dipercaya. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani yang
bersumber dari Jabir bin Abdillah, Alqamah bin Najiah, dan Ummu Salamah.
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir Al-‘aufi yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Selain Ibnu jarir juga meriwayatkan dari sumber lain yang mursal.[1]
1.
Tafsir Ayat :
Ayat
ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin
‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari
Bani Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini,
mereka menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu,
al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah
mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan
melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah
akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani
Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk
persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat ini.[2]
Konteks turunnya ayat
ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah
bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan
berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat
ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian
membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran
Islam. Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir
para politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasul saw.
menyatakan:
التبين من الله والعجلة من الشيطا ن
Pembuktian itu berasal
dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan at-Thabary).[3]
Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang
beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik membawa berita
kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya mentah-mentah (Yâ
ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in fatabayyanû). Dalam
konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat
bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il
(subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun (orang fasik). Berdasarkan
konteks tersebut, dapat diambil mafhûm mukhâlafah (konotasi terbalik)
sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd yang disampaikan
oleh orang yang adil dan tidak fasik.[4]
Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj
min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan). Menurut as-Syawkâni, ada yang
menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah dusta atau bohong.[5]
Sementara
itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang melakukan dosa
besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[6] Penggunaan
kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita
tersebut adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib
al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai
faedah besar, yang bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan
kuat).[7]
Disisi lain kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah (umum), yang berarti
meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik, pemerintahan,
sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan, jika ada
orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang dapat
digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa.
Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi
dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan.[8]
An
tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan
keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam
kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan
yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin
tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak
mengetahui), [9]
sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau
kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk
mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu.
Tindakan yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:
]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ
مَسْئُولاً[
Janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS
al-Isrâ’ [17]: 36).
Fatushbihû
‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang
telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang
dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain;
termasuk pengambil keputusan.
2.
Wacana
Tafsir: Cara Menerima Berita
Untuk menerima
berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen. Islam,
melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber
berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil
(Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak adil). Jika sumber berita
tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil
atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun
demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang
asalnya adil sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil
keputusan (al-hâkim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus
melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang
Islam.[10] Ini
seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di atas. Al-Walîd adalah utusan Nabi
saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi, akibat kesalahpahamannya
terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan kesalahan, yang barangkali
tidak sengaja ia lakukan.
Berbeda jika sumber
berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan agar
beritanya dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan
berdasarkan kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang
Islam yang fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang
disampaikan orang kafir? Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang
disampaikan CIA, bahwa Omar al-Farouq telah mengaku mempunyai rencana untuk
membunuh Megawati. Menurut berita yang sama, al-Farouq juga diberitakan sebagai
anggota jaringan al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan sebagai salah satu
tempat berkembangnya jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut semuanya
bersumber dari orang kafir, atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang
kafir, alias orang fasik. Karena itu, berita tersebut harus diperiksa
kebenarannya. Dalam kasus seperti ini ada contoh menarik; Rasul langsung
mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk memeriksa keadaan Bani Musthaliq mengenai
benar dan tidaknya informasi pembangkangan mereka sebagaimana yang dituturkan
al-Walîd di atas.[11]
Sebagaimana Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan
di negeri ini, juga tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai
benar dan tidaknya informasi tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver
politik negara kafir, maka informasi tersebut tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai manuver politik dengan tujuan
dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir, seperti Amerika dan
lain-lain.
Ini, misalnya, tampak
ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang dipimpin Usamah
bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001. Informasi ini
sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan tetapi,
sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang
sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan
langkah-langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa
disaksikan, manuver Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat
fantastis. Taliban berhasil dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan
kaki tangannya yang loyal, Hamid Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban
berhasil diruntuhkan, digantikan dengan demokrasi ala Amerika; kemudian
rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui kaki tangan dan seluruh
kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah tersebut
berhasil diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan
Pakistan. Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya
sebagai penguasa tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan
Asia Tengah.
Karena itu, untuk
merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika dan
Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi
niat jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu
adalah musuh, dan hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka adalah
hubungan permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka pertontonkan
terhadap Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya umat Islam
berpegang teguh pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Harayrah,
sebagai berikut:
»اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ«
Peperangan
itu merupakan tipudaya. (HR Muslim).
Karena itu, mereka
tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari musuh mereka.
Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang baik
bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya,
bukan berhadap-hadapan secara langsung.[12]
Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan negara-negara kafir lainnya, karena
mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan secara langsung dengan umat
Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid. Kesadaran yang sama
seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa memenangkan
pertarungan ini.
Akan tetapi,
sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal
kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh
gendang Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk
memerangi Islam dan umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama
gendang yang ditabuh Amerika; bak kata penyair:
إذَا كاَنَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفِّ ضَارِبًا
فَسِيْمَاتُهُ أَهْلُ الْبَيْتِ
كُلُّهُمُ الرَّقْسُ
Jika
tuan rumah memukul gendang, seluruh penghuninya tampak menari.
DAFTAR
PUSTAKA
§
Q. Shaleh, A. Dahlan dkk, 2000, Asbabun
Nuzuul, Dipenogoro, Bandung.
§
Ath-Thabari, Jâmi’
al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI.
§
Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV
§
Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘
li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI
§
Asy-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr
al-Fikr, Beirut, juz V.
§
Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam
Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996.
§
As-Shâbûni, Shafwat
at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III.
§
Al-Asqalâni, Fath
al-Bâri, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI
[1]
Q. Shaleh, A. Dahlan dkk, Asbabun Nuzuul, Dipenogoro, Bandung, hlm 514
[2]Ath-Thabari,
Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz
XXVI, hlm. 123
[3]Ibid;
hlm. 124; dan Ibn Katsir, Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV, hlm.210
[4]
Al-Qurthûbi,
al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI, hlm. 312
[6]
Rawwâs
Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I,
1996, hlm. 307 dan 315
[7] As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr, Dâr
as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III, hlm.231
[8]
Op.cit; As-Syawkani hlm.60
[11] At-Thabari, Ibid, juz XXVI, hlm.124
[12] Al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Dâr
al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI, hlm. 158
1 komentar:
numpang ngopy...ahahahy
Posting Komentar
Reaksi