Musim
penghujan bulan Desember di penghujung akhir tahun 2012, sejak malam gerimis
itu datang membuncah membungkus tiap kota. Puluhan Kota Besar seperti Jakarta,
Yogyakarta, Banyuwangi, Bali dan Malang dipenuhi ribuan lautan manusia yang
datang untuk merayakan puncak malam pergantian tahun baru, gemuruh suara
dentuman petasan dan terompet seakan menghayutkan lautan ribuan manusia akan
keindahan eksotisnya dunia malam. Semoga bunyi tersebut bukan niatan untuk
mengalahkan suara gemuruh petir yang juga datang bersama rintik hujan yang tak
diundang
Pagi itu dingin sekali, suasana semalam masih
terasa. Aku berlari-lari kecil, menuju halte dekat kost-an. Hari pertama kuliah
tahun ini, 2013 Sekaligus senin pertama tahun ini, aku ujian akhir semester
dengan materi ujian Peradilan Militer, walau sifat ujian kali ini open-book
namun tetap saja banyak dari teman-teman mahasiswa yang tidak percaya dengan
jawabannya sendiri. Kebiasaan mencontek di SMP-SMA dulu turun temurun membudaya
bahkan hingga cucu anak mereka kelak. Mereka tak peduli akan suatu nilai
proses, serba instan yang jadikan mereka mahasiswa yang kurang respect dengan
hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan atau nilai materi tersendiri bagi
mereka.
Langit
kota Jogja kini terlihat muram, tidak seperti biasanya, awan kehitam-hitaman
menggantung, Aku berbisik pelan semoga hari ini tidak berjalan menyedihkan dan
membosankan. Disamping itu, aku
melihat dirinya di kampus tadi tampil
begitu memukau dan membuatku terpesona, ia tampil lebih feminin, berbeda
seperti biasanya yang tampil urakan, tomboy dan tidak peduli dengan orang
sekitar. Mungkin ia menyadari bahwa tahun-tahun sebelumnya banyak stigma
negatif tentang dirinya yang tak terbiasa mengurus orang lain apalagi mengurus
suaminya kelak, lha ngurus sendiri aja belum becus, untuk yang satu ini, “berdandan
(red; bersolek). Percaya atau
tidak itulah yang terjadi. Ia sosok wanita yanag datang dalam kehidupanku
begitu cepat tanpa dimulai dengan sapa dan tanya, ngerasa langsung akrab aja
padahal belum pernah tahu karakter dirinya seperti apa. Dan Inilah awal kisah
menyedihkan itu ……………………..
#
Pagi
itu seisi bus terlihat muram, mungkin setelah liburan akhir tahun yang
menyenangkan, kembali beraktifitas seperti kuliah, kerja dan segalanya bukanlah
hal yang bisa membangkitkan antusiasme. Belum lagi kenangan yang terjadi di perayaan
malam penutupan akhir tahun 2012 jelang tahun baru kemarin, membuat mereka
jengah dan enggan untuk kembali beraktifitas seperti biasanya. Begitupula
dengan diriku yang masih merasa kurang dengan waktu liburan yang disediakan
oleh kampus. Rasanya baru kemarin datang ke Banten, sekarang sudah dituntut
untuk kembali ke Jogja untuk melanjutkan kembali perjuangan yang tertunda.
#
Setelah
ujian Peradilan Militer aku langsung turun menuju lantai 3 untuk menunaikan
Sholat Dhuha yang belum sempat kulaksanakan pagi tadi, rasanya ada yang kurang.
Setelah menunaikan sholat dhuha aku tergesa-gesa menuruni puluhan anak tangga,
hampir saja aku terjatuh dan bakal menjadi bahan tertawaan satu kampus,
beruntung ia menahan tanganku hingga dirinya pun hampir terperanjat bersamaku.
Kuucapkan terima kasih kepadanya, ia hanya membalas dengan senyuman dan berkata
lirih “lain kali hati-hati”. Disitu aku merasakan ada tatapan yang
berbeda, tatapan yang berarti harapan, tatapan dari mata seorang wanita yang
membuatku terpenjara karena mata indahnya, tertambat hatiku karenanya. Tidak
hanya cantik paras wajahnya namun cantik pula perilakunya. Sempat berkata dalam
hati berdo’a “semoga ia menjadi istriku kelak”. Setelah kejadian itu, aku makin
bersemangat pergi ke kampus hanya untuk melihat mata indahnya, walau sebenarnya
hari ini tidak ada jadwal ke kampus aku tetap datang menanti dirinya melintas
di depanku, dua jam berlalu aku masih setia menunggunya berharap ia datang
namun hingga hari petang ia tak kunjung datang, aku pun merasa ada hal yang
janggal setelah kejadian ini. Besoknya aku kembali datang berniat melihat
dirinya di kampus tapi hingga seminggu ia tak kunjung datang, apakah ia sakit?
Apakah ia marah kepadaku? Aku mencoba mencari tahu kabarnya lewat
teman-temannya tapi mereka pun tak pernah tahu kabar dari si Zidna Ilma, ya
namanya Zidna ‘Ilma. Aku baru tahu, kutanya mereka alamat rumahnya, dan kudapati
alamatnya tidak jauh dari kampus. Aku berjanji dalam hati, setelah mengajar
sore nanti aku mampir ke rumahnya untuk mencari tahu kabarnya, tak kusangka ada
janur kuning depan rumahnya kulihat depan rumahnya tertulis Spanduk besar bertuliskan “Mohon Do’a Restu”. Aku
kaget sekali, aku jatuh tersungkur tak kuasa tuk melanjutkan membaca kalimat
tadi, namanya terpampang jelas sekali, tanpa kabar, tanpa undangan dia telah
menikah dengan seorang dosen yang amat kukenal. Apa yang harus kuperbuat?
Rasanya hati ini hancur berkeping-keping tersayat oleh sembilu yang sangat
tajam. Mengapa ia tega lakukan ini semua padaku? Mengapa begitu cepat harapan
ini hancur musnah? Padahal baru minggu kemarin rasanya ia memberi sinyal
harapan untuk meminangnya, tapi mengapa ini yang terjadi?
#
Seminggu
kemudian kutelusuri dan kucari info tentang keluarganya, ternyata ia dipaksa
menikah di usia dini karena keluarganya terlilit hutang dan apesnya dia yang
menjadi korban dari kebiadaban rentenir dan orang tuanya yang sebenarnya tak tega
terpaksa menjual anaknya untuk menebus segala hutang-hutang keluarganya yang
semakin bertambah karena bunga dari hutang tersebut. Apa yang harus kuperbuat
sedangkan aku saja untuk kehidupan sehari-hari masih harus bekerja part-time di
luar sana. Tak mungkin aku datang mencoba menjadi pahlawan kesiangan membayar
lunas hutang-hutangnya.
Sempurna
sudah tiga bulan setelah pernikahannya aku tak pernah berbincang dengannya,
hingga suatu waktu ia mendatangiku dan menceritakan semua tentang kehidupannya
dan keluarganya. Ia terpaksa melakukan itu semua demi membalas budi orang tua
yang telah mengasuhnya sejak kecil, ia sebenarnya ingin berontak tapi apa daya,
nasi telah menjadi bubur. Semua telah terjadi tanpa pernah ia meminta dan
mengharap. Semua skenario kehidupannya telah diatur oleh Sutradara yang Maha
Agung dan ia menerima semua itu dengan lapang dada, ikhlas tanpa mengaharap
balas. Tak kuasa diri ini meneteskan air mata yang mengalir deras bak hujan yang
tak kunjung reda bulan ini setelah tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Bulan
April masih sama dengan musim penghujan, sejak malam gerimis itu datang
membuncah membungkus tiap kota, memaksaku meringkuk berbaring di kamar kost, memandang hujan lewat jendela begitu
derasnya, pada akhirnya semua hanya kembali pada satu hal yang nyata, tak ada
hidup tanpa jarak dan tanya merama-rama. Semua hanya kamuflase dunia yang tak luput dari harap dan dosa semata.
El-Fath