“Leadership ala Tan Malaka”
Penulis : Sumarno
Tulisan ini bermula dari keprihatinan
penulis melihat keadaan bangsa ini yang semakin semrawut, kacau balau,
penindasan serta pembunuhan secara perlahan terus silih berganti. Penindasan Hak Asasi Manusia menjadikan
pemandangan yang tidak asing lagi yang semakin mengikis nilai-nilai
kemanusiaan. Berangkat dari semua hal di atas penulis yakin pasti ada yang
salah dengan sistem pemerintahan Indonesia atau ini memang ulah dari para
pemimpin bangsa sebagai wakil rakyat yang telah menggunakan hak-haknya tanpa
mengindahkan nilai kewajiban yang harus dijalani olehnya.
Disadari ataupun tidak, banyak
sekali kebijakan publik dari penguasa atau pemimpin yang justru menindas rakyat
jelata, apakah memang benar adanya kebijakan publik hanya untuk orang kaya,
orang yang berduit, dan tidak untuk rakyat miskin?. Begitu banyak hal yang
menciderai hak asasi, seperti hak sehat, kita lihat saja kini kesehatan bagi
rakyat miskin hanya sebuah impian saja, dengan makan yang tak teratur membuat
mereka jatuh sakit, bahkan tidak sedikit dari mereka tewas. Hal ini dikarenakan
mereka tidak mampu membayar biaya untuk berobat ke rumah sakit, dan kesulitan
mendapatkan kesehatan secara cuma-cuma, padahal semua telah diatur dalam
konstitusi bahwa setiap rakyat miskin dipelihara oleh negara. Apatah yang
terjadi, ternyata ada kesenjangan antara harapan (das Sollen) dan
kenyataan (das Sein). Tidak
dapat dipungkiri keberadaan masyarakat dalam suatu negara harus diakui memang
tidak lepas dari hubungan relasi dengan struktur kekuasaan. Dengan
diberlakukannya sistem demokrasi mereka(para penguasa) dipilih, dan
kemudian menjadi penguasa yang acapkali mereka mengeluarkan kebijakan-kebijakan
publik yang justru menindas rakyat yang dulunya memilih mereka. Kondisi ini
berlanjut pada kebijakan yang terjadi dalam konteks ke-Indonesia-an.
Terlihat sangat nyata bagaimana kebijakan politik dan
produk perundang-undangan sangat menyimpang dari penyejahteraan kaum kecil, (red: rakyat miskin). Dengan banyaknya realita
yang ada, penulis tergugah hati dan jiwanya untuk menulis opini atau sebuah
tulisan yang merupakan manifestasi rasa keprihatinan terhadap bangsa ini.
Penulis mengambil judul “Leadership ala Tan Malaka”
dikarenakan penulis meyakini bahwa Tan Malaka merupakan sosok yang tepat dan
beliaulah salah satu sosok Bapak guru
bangsa yang mengajarkan banyak hal tentang suatu kepemimpinan yang walaupun
nama beliau tidak dikenal banyak orang, namun beliaulah orang yang sangat
berjasa bagi negara Indonesia saat ini, karena dengan pemikiran-pemikiran
beliaulah negara ini terbentuk yang kemudian dikenal dengan nama Indonesia. Partai
Murba dan Madilog ialah dua hal yang ditinggalkan oleh Tan Malaka bagi bangsa
Indonesia. Kedua peninggalannya tersebut dengan jelas mendeskripsikan kiprah
kepemimpinan Tan Malaka sebagai sosok guru bangsa. Dimana dalam
kedua monumennya tersebut banyak yang bisa dipelajari serta diambil sebagai
bahan pembelajaran tentang kepemimpinan. Banyak konsep yang digunakan oleh Tan
Malaka dalam kepemimpinannya, diantaranya adalah konsep-konsep yang kemudian penulis
ringkas dalam tulisan ini. Penulis berharap konsep-konsep tersebut menjadi
pembelajaran bagi kita semua. Baik mereka yang sudah menjadi pemimpin dan kita
sebagai penerus dari mereka yang diharapkan selalu bergerak menuju perubahan
yang lebih baik. Adapun konsep-konsep tersebut adalah, :
1
Konsep Tut Wuri Handayani
Tan Malaka mengartikan penguasa itu tidak hanya
sekedar memimpin dan memerintah orang lain. Penguasa atau pemimpin harus mampu
menerjemahkan suatu keadaan disekitarnya dan mengendalikannya.
Orang yang belum mampu menerjemahkan dan mengendalikan
suatu keadaan bukanlah penguasa atau pemimpin, meski ia memiliki gelar dan
jabatan. Jabatan hanyalah sebuah gelar, sementara kekuasaan atau kepemimpinan
itu melampaui segalanya. Selain itu penguasa atau pemimpin harus memayungi dan
melindungi orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin khususnya dalam konteks
negara Indonesia harus mengerti prinsip Tut Wuri Handayani yang berbunyi : “ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Prinsip ini diartikan “di depan menjadi contoh tauladan, di tengah saling
membangun, di belakang memberi dorongan”. Dapat dijelaskan bahwa pemimpin
yang ideal adalah pemimpin yang mampu menempatkan dirinya dalam suatu
organisasi maupun dalam ruang lingkup masyarakat atau lebih luasnya dalam suatu
Negara, ketika pemimpin tersebut ditempatkan di depan maka sudah seharusnya ia
menjadi teladan yang baik dan dapat dicontoh oleh para pengikutnya ataupun
anggotanya. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang pemimpin organisasi
mengambil sebuah keputusan dari suatu permasalahan sudah seyogyanya pemimpin
tersebut harus mampu memutuskan suatu hal yang tidak memihak, tegas dan tidak menimbulkan
kontra yang akhirnya memecah belah khususnya dalam hal ini adalah pemimpin
organisasi, karena jika ini terjadi maka akan berdampak pada organisasi dan
anggota-anggota yang dipimpinnya. Namun ketika seorang pemimpin ditempatkan di
tengah, maka ia harus mampu berjalan berdampingan dengan anggotanya, mampu
menerima kritik dan saran dengan tujuan bersama-sama dalam membangun suatu
konsep dari suatu Negara maupun dari organisasi. Dan terakhir yang harus
menjadi catatan bahwa prinsip di atas hanya dapat dijalankan oleh pemimpin yang
memiliki jati diri, handayani (memberikan dorongan dan nilai-nilai orang yang
dipimpinnya).
Dapat dijelaskan bahwa pemimpin harus mampu memberikan
dorongan dan
nilai-nilai terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Dan sebagai pemimpin yang
baik bukan cuma
hanya pintar menyalahkan kinerja anggotanya namun ia pun harus mampu
menerima segala masukan, baik kritik maupun saran atau lain sebagainya. Pemimpin yang baik adalah bukan seorang
pecundang yang hanya bisa menerima kritikan orang terdekatnya, sahabat
karibnya, dan lainnya. Namun seorang pemimpin tidak mau tidak harus menerima segala
bentuk kritik maupun saran, sekalipun itu datang dari orang bodoh sekalipun, karena tidak
semua orang yang bodoh itu jahat begitu pula sebaliknya, sekalipun kritikan itu
datang dari anggota yang tidak
pernah terjun dalam membantu di dalam organisasinya, tidak seharusnya bertindak kesal, acuh jengkel dan sebagainya.
Dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang
baik adalah mampu menjadikan kritik yang pedas itu sebagai kripik pedas,
walaupun pedas tetapi nikmat jika dimakan, dengan catatan setiap kritik adalah
sejatinya memberikan solusi yang dapat menjadi bahan pertimbangan. Dari sinilah
dapat tercipta tatanan masyarakat seutuhnya, dan tecipta organisasi yang baik.
Setelah disebutkan tentang prinsip tut wuri handayani,
sebagai pemimpin kita harus mengetahui baik dari konsep dan sistem suatu
Negara, ataupun hal lainnya, karena dengan prinsip tersebut seorang pemimpin
dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat maupun orang yang dipimpinnya, dengan
catatan konsep tut wuri handayani dijalankan dengan sungguh-sungguh dan tidak
untuk mencari ketenaran serta opportunis belaka.
2
Konsep Demokrasi
Dalam hal ini, Tan Malaka menjelaskan tentang konsep
suatu Negara khususnya Indonesia, menjelaskan bahwa Negara harus fleksibel,
artinya ada sisi demokrasi yang harus diwujudkan. Namun menurut hemat penulis
bahwa bukan nilai demokrasi yang berlaku saat ini, dimana demokrasi sekarang
telah berubah dari nilai-nilai yang harus dipertahankan, demokrasi yang mulanya
diartikan dengan “suara rakyat adalah suara Tuhan” namun sekarang berubah menjadi “suara rakyat adalah suara
syaithan”. Jadi dapat disimpulkan dalam hal ini demokrasi yang dimaksud adalah
demokrasi yang memiliki batasan-batasan,
dimana masyarakat tetap bisa menyampaikan aspirasi dan melakukan aktifitas
politik, sementara pemerintah memberi batasan hingga sejauh mana masyarakat
bisa masuk ke dalam arena politik. Bisa disimpulkan demokrasi yang
berlaku sekarang adalah semua person bisa memasuki dalam dunia politik dan
menjadi politisi.
Padahal kita ketahui bersama, jika
semua elemen masyarakat masuk dan terjun dalam politik justru akan memperpecah konsep
dari Negara itu sendiri. Dimana semua individu mempunyai kepentingan
masing-masing yang
justru menjadikan dikotomi kekuasaan
yang akhirnya satu sama lain saling menjatuhkan, yang kemudian demokrasi tidak
lagi berjalan untuk mewakili aspirasi dari rakyat, tidak lagi berupaya untuk
kepentingan sosial namun demokrasi menjadi sebuah jalan untuk memperebutkan
kekuasaan. Kita ketahui bersama politik saat ini menjadi cara untuk mendapatkan
kekuasaan, tidak sedikit para artis yang ikut terjun ke dalam dunia politik,
baik dia berangkat dari partai politik maupun independen yang masuk ke
dalamnya. Hal ini makin memperkuat bahwa demokrasi yang berjalan saat ini tidak
lagi berjalan secara sehat, dunia politik yang mulanya sebuah dunia profesionalitas
berubah menjadi dunia oportunis yang dipenuhi para artis yang tidak sedikit dari mereka tidak mengerti tentang politik.
Padahal sudah seharusnya orang-orang yang ingin terjun ke dalam dunia politik
tidak mau tidak harus mempunyai pengalaman minimal dalam bidang hukum dan
politik. Konsep demokrasi yang digagas oleh Tan Malaka menganjurkan agar semua
person tidak terjun dalam dunia politik. Menurutnya tak ada masalah terkait
partai dan pemilu, namun tetap harus ada batasan-batasan bahwa hal yang harus
didahulukan adalah kepentingan sosial dengan tidak menjadikan kepentingan
individu masuk ke dalam dunia politik.
Menurut kami bahwa perlu adanya
penjelasan kepada rakyat apakah menjadi pengendali sebuah negara atau sebagai
pengikut negara dengan konsekuensi masing-masing yang harus diambil. Dengan
adanya batasan tersebut bukan berarti bahwa hak seseorang dalam berpolitik ini dikucilkan
atau dihilangkan, karena dengan adanya batasan ini justru akan mampu menerjemahkan
nilai-nilai dari demokrasi yang sesungguhnya. Karena dengan adanya batasan,
pemahaman tentang demokrasi bukan hanya adanya penuntutan hak-hak namun tetap
harus mengindahkan kewajiban yang harus dijalankan. Ironisnya, saat ini kita
dipertontonkan praktik politik penguasa yang menihilkan keberadaan masyarakat
sebagai elemen terpenting dalam demokrasi, elit politik dan partai politik
mengajarkan keburukan kepada kita semua, mereka saling berebut kekuasaan dengan
cara-cara yang sangat tercela, menghalalkan segala cara, dan cara yang sempurna
adalah menodai amanat penderitaan rakyat. Kenyataan yang terjadi dalam praktek
politik memang ada, dalam hal ini dinamakan “high politic dan low
politic”, kedua istilah ini adalah pendapat M.Amien Rais yang
menyebutkan bahwa politik kualitas tinggi (high politic) politik
pencapaian kekuasaan yang bercirikan kesadaran para pelakunya bahwa posisi,
kedudukan, dan jabatan adalah manifestasi dari amanah masyarakat yang
membutuhkan pertanggungjawaban dan diorientasikan untuk persatuan dan kesatuan
bangsa, sedangkan politik kualitas rendah (low politic) adalah politik
dimana para politisi berebut kekuasaan dengan cara-cara yang sangat tercela,
menghalalkan segala cara, untuk mencapai kepentingan, yang kemudian justru akan
memecah persatuan dan kesatuan bangsa, padahal kita ketahui bersama begitu
banyak kelakuan buruk yang mereka lakukan secara terang-terangan, mereka telah
lupa dengan amanat yang mereka emban, rakyat semakin melarat, jumlah
pengangguran semakin tidak karuan, dan kebijakan-kebijakan yang menyesakkan.
Dari kedua istilah diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam hal ini Amien
Rais sependapat dengan Tan Malaka tentang high politic, yang menjelaskan
bahwa kekuasaan bukanlah untuk diperebutkan, namun kekuasaan adalah amanah yang
harus dipertanggungjawabkan.
Selanjutnya, low politic adalah perilaku
politik yang mana mereka mengartikan kekuasaan sebagai hal yang abadi, mereka
yang hidup bermewah-mewahan, anggota dewan yang selalu menuntut kenyamanan
dalam ruang kerjanya dengan dalih meningkatkan kinerja mereka, minta ini itu,
tanpa memikirkan ada hal yang lebih terpenting dari renovasi ruang kerja, yang
padahal jika diaudit tempat tersebut masih sangat layak digunakan, berbeda jika
dibandingkan dengan keadaan rakyat miskin yang semakin termarjinalkan
hak-haknya. Mereka tak pernah mengeluh dengan rumah yang dibawah kolong
jembatan, dengan ruang MCK yang tidak layak, mereka mempunyai prinsip asalkan
anak dan keluarganya bisa makan sehari-hari itu sudah cukup, tapi mengapa
pemimpin yang ada tidak pernah mengerti kondisi psikologis dari mereka, dengan
dalih penertiban tempat umum mereka membongkar tempat tinggal kaum proletar,
tanpa memikirkan relokalisasi buat para pengemis dan rakyat jelata yang
rumahnya telah digusur pemerintah.
3
Pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Capital)
Pengembangan sumber daya manusia
menjadi hal yang sangat urgen, mengapa demikian? Karena sumber daya manusia
adalah suatu hal yang dapat mengimbangi sumber daya alam yang tidak terbatas di
dunia ini. Tentunya tidak semua SDM yang ada dapat mengembangkan potensi serta
kemampuannya. Banyak dari SDM yang ada tidak mampu mengembangkan potensi yang
mereka miliki, salah satu penyebabnya adalah proses pembentukan mental dan daya
pikir seseorang. Pembentukan mental seseorang adalah salah satu hal yang
terpenting dalam membentuk sumber daya manusia yang kompeten dan berkualitas,
karena jika mental seseorang sudah hancur maka ini akan berdampak pada kinerja
dan cara berpikir seseorang yang kerap menginginkan segala sesuatu dengan hal
yang instan. Sebagaimana yang dijelaskan Tan Malaka dalam
Madilog, bahwa ia berharap bangsa ini mempunyai mentalitas yang kuat dan
tingkat intelektualitas yang tinggi, baik pada ranah kognitif maupun mental.
Tujuannya agar seseorang atau bangsa ini mempunyai jati diri yang dapat
diperjuangkan baik dalam membangun sebuah Negara ataupun mempertahankannya.
Karena menurut
kami, jika seseorang yang mentalnya sudah
terkontaminasi dengan hal-hal yang kaitannya dengan materiil, maka hal ini
menjadikan dirinya seseorang yang mempunyai daya berfikir yang dangkal dan
berfikir bahwa materiil hal yang paling urgen bagi dirinya, memang tidak dapat
kita pungkiri bahwa materiil dapat membantu pembentukan mental seseorang, namun
realita yang ada sekarang justru berbeda, karena saat ini kerap kali ketika
tidak ada materi (red: uang), justru seseorang malas untuk berfikir dan
bertindak. Hal ini menjadikan mentalitas rakyat kita, atau mentalitas bangsa
kita khususnya Indonesia adalah mentalitas yang dijajah oleh materiil, yang acapkali
mempengaruhi mentalitas daya berfikir seseorang, yang hanya bekerja jika ada
imbalan, membantu karena mengharapkan imbalan dan sebagainya. Hal ini
mempengaruhi seluruh elemen masyarakat baik itu guru, dosen, pemimpin dalam
organisasi dan justru mahasiswa yang menjadi harapan masyarakat sebagai “agent
of change” (agen perubahan) kini terkena dampaknya. Guru dan dosen yang
harapannya bisa “digugu lan ditiru” kini
tidak bisa diharapkan untuk menjadikan siswa dan mahasiswanya mempunyai mental
yang tidak berorientasi pada materill, karena realita yang ada saat ini justru
tidak sedikit guru atau dosen kini hanya berorientasi pada nilai materiil,
banyak dari mereka meninggalkan kewajibannya sebagai seorang pengajar. Guru
yang sibuk dengan dana honor dan dosen yang semakin sibuk dengan gaji buta yang
diperebutkan. Mengapa hal ini terjadi? Ini karena pengaruh dari mentalitas dan
daya berfikir seseorang. Ketika orientasi hidupnya hanya untuk kesenangan
materi maka yang terjadi adalah demikian. Hal ini berimbas pula kepada para
mahasiswa yang mempunyai kekuasaan baik dalam lingkungan intra kampus maupun
ekstra kampus. Mahasiswa yang diharapakan idealitasnya dalam berfikir, kini berfikir
bahwa nilai materi adalah menjadi hal yang sangat urgen, benar adanya jika
materi menjadi hal yang sangat urgen, namun bukan berarti tujuan serta
orientasi hidup hanya
berkutat pada materi dengan jalan pintas, (dalam hal ini terjun ke dalam dunia
politik) berorientasi hanya untuk opportunis bukan lagi sebagai
profesionalitas. Para mahasiswa yang dulunya dikenal sebagai intelektual progressif, kini hanyalah impian belaka,
mereka yang mempunyai jabatan dalam intra
maupun ekstra kampus berorientasi pada ranah popularitas. Mereka melakukan
aksi, orasi, dan sebagainya bukan untuk tujuan professional tetapi mereka ingin
mencari popularitas baik untuk dirinya pribadi maupun organisasi ekstra yang
mengusungnya ke dalam intra kampus. Elemen gerakan mahasiswa kini tidak mampu
berjalan berdampingan dengan EGM lainnya. Hal ini dikarenakan kepentingan dan
ego masing-masing dari mereka yang meyakini bahwa EGM-nya lah yang paling
benar. Maka dari hal tersebut, kini EGM hanya menjadi sebuah lahan untuk
mencetak anggota yang terus bertambah kuantitasnya, namun tidak pada kualitas
dari anggota yang disebabkan para penguasa baik dalam ranah organisasi kampus
hingga ke ranah partai politik yang tidak mampu lagi untuk menjadi panutan bagi
anggotanya. Dalam hal ini Tan Malaka memaknai kekuasaan bukan berarti sebagai
penguasa tapi ia menjadikan dirinya sebagai guru bangsa, menurutnya kekuasaan
adalah bukan hal yang kekal abadi, yang mana pasti suatu saat akan ada musuh
yang menghancurkan dan sangat berbeda jika mengartikan kekuasaan sebagai guru
bangsa, karena guru bangsa tidak akan pernah bisa untuk dikudeta. Sangat miris
sekali ketika kekuasaan diperebutkan, karena kekuasaan adalah bukan jabatan dan
bukan dijadikan ajang percobaan.
Dalam hal ini kita sebagai mahasiswa
sudah seharusnya tidak apatis dengan kondisi diatas, sebagai akademisi kita
tidak hanya bergelut dalam dunia perkuliahan saja, sudah seyogyanya kita
merubah gaya hidup kita yang hedonis dengan berkontribusi baik sebagai
fasilitator dalam pemilu, ataupun memberi pencerdasan politik kepada rakyat.
Karena penulis meyakini bahwa masyarakat masih tetap menganggap gerakan
mahasiswa adalah gerakan moral yang bisa dipercaya dan bebas kepentingan,
lingkungan akademis yang digeluti mahasiswa menjadi keyakinan rakyat bahwa
gerakan mahasiswa akan selalu rasional dan bertindak kepada rakyat. Dari hal
tersebut ini menjadi modal penting bagi mahasiswa untuk bergabung dengan rakyat
dengan menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan bangsa, memperjuangkan
hak-hak rakyat yang tertindas dan sebagainya.
Dengan maraknya kasus korupsi yang
tak kunjung usai, menjadikan negara Indonesia menjadi negara seribu konflik dan
menjadi akar permasalahan adalah keadilan sosial yang selalu diacuhkan oleh
para penguasa. Padahal sudah kita ketahui bersama, bahwa hal ini merusak
tatanan masyarakat, dan menghancurkan nilai-nilai Pancasila yang diperjuangkan
oleh para founding fathers terdahulu. Pengejawantahan
nilai-nilai pancasila mulai redup dan semakin terpuruk, reformasi pun kemudian
menjadi mati suri, dan pilar serta nilai demokrasi menjadi jalan penguasa
tirani, Semoga kita sebagai mahasiswa tetap menjadi idealis sejati yang
mempertahankan nilai Pancasila yang telah dikotori penguasa tirani.