Sering aku mendengar tentang FLP, tapi tak pernah tahu apa saja
kegiatannya. Yang aku tahu hanyalah komunitas para manusia yang suka dan hobi
menulis. Nah sebenarnya aku mulai suka menulis dari sejak di MA dulu namun
karena suatu hal, entah apa aku sempat vakum di dunia menulis. Semakin
menjamurnya penulis-penulis di Indonesia, semakin menarik perhatian hatiku,
seakan minta diperhatikan padahal sedikitpun tidak.
Menulis seakan menjadi candu yang bermula dari canda, iseng menulis di
diary harian dulu, dengan menulis pula aku bisa tuliskan apa yang semua aku
rasakan, tak perlu apakah akan ada yang membacanya atau tidak, tapi dengan
menulis aku bisa lupakan segala rasa yang ada dalam hati yang sudah terlanjur tersayat
emosi diri melihat kejadian-kejadian yang ada dalam negeri ini.
Maraknya kasus-kasus tindak pidana menjadikan negeri ini semakin bedebah
saja rasanya. Moral bangsa yang sudah terlanjur pesimis seakan surga bagi
koruptor, melengang bebas pergi plesiran ke luar negeri setelah membawa
jarahannya, mentalitas bangsa yang kian tergilas idealitasnya akan nilai-nilai
yang tersemat dalam pancasila, pun jua mentalitas penegak hukum yang kian
hancur, bahkan mentalitas guru yang digugu lan ditiru pun ikut tergilas
idealitasnya. “Korupsi sudah menjadi budaya”, sepenggal kalimat tersebut pernah diucapkan Bung Hatta
puluhan tahun silam ketika usaha pemberantasan korupsi Pertamina gagal. Sejak
itu anggapan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia kian populer.
Rangkaian kata-kata tersebut seolah seperti sebuah kalimat sakti yang
kebenarannya masih dapat kita buktikan hingga detik ini. Memang pada saat itu tidak banyak yang diseret
ke Pengadilan dan dimasukkan ke dalam bui. Akan tetapi, karya sastra ternyata lebih jujur
dari manusia. Karya sastra justru mampu merekam sejarah dan menyimpan sejuta cerita dalam
dokumentasi perjalanan bangsa ini.
Semakin banyak penulis muak dengan hal ini semua, hingga pada suatu waktu
banyak karya yang bermunculan, yang pada intinya mereka yakin karena lewat
tulisan-lah dapat menggugah jiwa-jiwa yang keras hatinya, dakwah untuk kebaikan
tidak hanya selalu lewat action, apalagi dengan anarkis. Bagaimana mau
didengar, dilihat, didukung oleh yang lainnya, tingkah lakunya saja tidak jauh
dari sifat ke-hewan-an. Bukti riil adalah bahwa batu sekeras karang pun dapat
hancur oleh percikkan air laut yang lembut, begitu juga hati manusia, hati yang
keras bukan diselesaikan dengan tindakan yang keras, apalagi anarkis.
Rasulullah pun demikian, tidak sedikit pun beliau membalas semua tindakkan
kekerasan dengan hal yang serupa.
Menurut hemat saya, dakwah tidak sekedar aksi dan aksi, kalau semua seperti
itu, siapa yang mau menceritakkannya kepada cucu-cucu kita nanti. Kalau cuma
aksi melulu yang ada justru saling pertumpahan darah, justru rekaman sejarah
dokumentasi bangsa yang tak tertulis hanya gambaran ilustrasi tanpa adanya
penjelasan tertulis.
Memang benar adanya kalimat “tidak semua yang kau tulis mereka baca, dan
tidak semua yang mereka baca kau tulis”. Kalimat itu sebagai pelecut dan penyulut
ghiroh untuk merubah dunia lewat tulisan semoga tertancap dalam-dalam. Karena
dengan menulis banyak fakta kehidupan yang membuktikan, bahwa memang menulis
mampu menjadikan orang-orang yang hidupnya penuh dengan masalah, jauh dari masa
depan yang menjanjikan sebuah harapan, masa depan yang suram, yang justru meruntuhkan percaya diri, untuk kembali
menjadi pribadi yang penuh rasa percaya diri dan siap menyongsong hidup dengan
segudang prestasi. Aamiin ya Mujiba Sailiin J