Jumat, 17 Mei 2013 0 komentar

Aku, FLP dan Dakwah Kepenulisan



Sering aku mendengar tentang FLP, tapi tak pernah tahu apa saja kegiatannya. Yang aku tahu hanyalah komunitas para manusia yang suka dan hobi menulis. Nah sebenarnya aku mulai suka menulis dari sejak di MA dulu namun karena suatu hal, entah apa aku sempat vakum di dunia menulis. Semakin menjamurnya penulis-penulis di Indonesia, semakin menarik perhatian hatiku, seakan minta diperhatikan padahal sedikitpun tidak.
Menulis seakan menjadi candu yang bermula dari canda, iseng menulis di diary harian dulu, dengan menulis pula aku bisa tuliskan apa yang semua aku rasakan, tak perlu apakah akan ada yang membacanya atau tidak, tapi dengan menulis aku bisa lupakan segala rasa yang ada dalam hati yang sudah terlanjur tersayat emosi diri melihat kejadian-kejadian yang ada dalam negeri ini.
Maraknya kasus-kasus tindak pidana menjadikan negeri ini semakin bedebah saja rasanya. Moral bangsa yang sudah terlanjur pesimis seakan surga bagi koruptor, melengang bebas pergi plesiran ke luar negeri setelah membawa jarahannya, mentalitas bangsa yang kian tergilas idealitasnya akan nilai-nilai yang tersemat dalam pancasila, pun jua mentalitas penegak hukum yang kian hancur, bahkan mentalitas guru yang digugu lan ditiru pun ikut tergilas idealitasnya. “Korupsi sudah menjadi budaya”, sepenggal kalimat tersebut pernah diucapkan Bung Hatta puluhan tahun silam ketika usaha pemberantasan korupsi Pertamina gagal. Sejak itu anggapan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia kian populer. Rangkaian kata-kata tersebut seolah seperti sebuah kalimat sakti yang kebenarannya masih dapat kita buktikan hingga detik ini. Memang pada saat itu tidak banyak yang diseret ke Pengadilan dan dimasukkan ke dalam bui. Akan tetapi, karya sastra ternyata lebih jujur dari manusia. Karya sastra justru mampu merekam sejarah dan menyimpan sejuta cerita dalam dokumentasi perjalanan bangsa ini.
Semakin banyak penulis muak dengan hal ini semua, hingga pada suatu waktu banyak karya yang bermunculan, yang pada intinya mereka yakin karena lewat tulisan-lah dapat menggugah jiwa-jiwa yang keras hatinya, dakwah untuk kebaikan tidak hanya selalu lewat action, apalagi dengan anarkis. Bagaimana mau didengar, dilihat, didukung oleh yang lainnya, tingkah lakunya saja tidak jauh dari sifat ke-hewan-an. Bukti riil adalah bahwa batu sekeras karang pun dapat hancur oleh percikkan air laut yang lembut, begitu juga hati manusia, hati yang keras bukan diselesaikan dengan tindakan yang keras, apalagi anarkis. Rasulullah pun demikian, tidak sedikit pun beliau membalas semua tindakkan kekerasan dengan hal yang serupa.
Menurut hemat saya, dakwah tidak sekedar aksi dan aksi, kalau semua seperti itu, siapa yang mau menceritakkannya kepada cucu-cucu kita nanti. Kalau cuma aksi melulu yang ada justru saling pertumpahan darah, justru rekaman sejarah dokumentasi bangsa yang tak tertulis hanya gambaran ilustrasi tanpa adanya penjelasan tertulis.
Memang benar adanya kalimat “tidak semua yang kau tulis mereka baca, dan tidak semua yang mereka baca kau tulis”. Kalimat itu sebagai pelecut dan penyulut ghiroh untuk merubah dunia lewat tulisan semoga tertancap dalam-dalam. Karena dengan menulis banyak fakta kehidupan yang membuktikan, bahwa memang menulis mampu menjadikan orang-orang yang hidupnya penuh dengan masalah, jauh dari masa depan yang menjanjikan sebuah harapan, masa depan yang suram, yang  justru meruntuhkan percaya diri, untuk kembali menjadi pribadi yang penuh rasa percaya diri dan siap menyongsong hidup dengan segudang prestasi. Aamiin ya Mujiba Sailiin J
0 komentar

Ketika Maslahah Menjadi Masalah

Mungkin cerita ini belum berlangsung lama, sore tadi kampus kembali geger dengan aksi mahasiswa yang menuntut untuk menurunkan rektorat karena tak tegas dalam mengambil sikap terkait permasalahan pemilwa. Berniat mencari maslahah justru menimbulkan masalah yang membuncah. Tuntutan yang tak didengarkan justru menimbulkan amarah massa dari Aliansi Partai Mahasiswa, kampus rakyat justru dikenal dengan anarkisme-nya, padahal belum lama ini citra baik kampus berlabel UIN baru diperkenalkan, perjuangan para mahasiswa dalam Debat Konstitusi tak digubris, moral yang kian terkikis, pemilwa yang penuh dengan diksi politis justru menampakkan nilai anarkis, bengis, dan kadang gak logis.

Menurut hemat kami, Ini semua karena kurangnya pendidikan dalam berpolitik. Sudah seharusnya kampus memberikan pendidikan politik kepada mahasiswanya, sudah seharusnya kampus melibatkan mahasiswa dalam setiap kebijakannya, agar tak lagi ada perlakuan seperti ini, ingin dihargai ya harus menghargai, kritis boleh namun tetap mengedepankan nilai akademis, bukan dengan gerakan anarkis merusak fasilitas Negara, mengganggu kegiatan belajar mengajar, dengan sikap yang terkadang kurang ajar. Padahal ada embel-embel Islam namun berbanding terbalik dengan kampus lainnya yang kesannya masih lebih baik mereka yang berpaham komunis, mereka justru lebih mengedepankan nilai sosialis.

 

Di satu sisi tuntutan yang dilakukan APM tak ada hasil, pun jua rektorat yang sudah terlanjur fasilitasnya terusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, tangan yang lempar batu sembunyi tangan, tangan yang diam ketika diminta pertanggung jawaban. Banyak pemimpin saat ini lebih mengedepankan percaya diri tinimbang tahu diri, yang ada justru menang jadi arang kalah jadi abu, keduanya sama-sama rugi. Pihak rektorat yang melibatkan satpam kampus guna menghadang aksi massa yang sweeping ke area rektorat justru terlibat baku hantam, masing-masing kedua pihak terdapat korban, entah apa maunya, entah siapa yang memulai. Ketika ditanyai masing-masing menjawab bahwa pihaknya yang benar, mereka lagi-lagi bersikukuh dalam kebeneran pribadi, yang ada malah sakit hati, mereka menang kalahpun sama-sama menderita. Teringat peribahasa selain diatas, bahwa Raja Adil Raja Disembah, Raja Lalim Raja Disanggah adalah pemerintah yang bersifat adil akan dipatuhi, sedangkan jika pemerintah sewenang-wenang terhadap rakyatnya akan dilawan. Dan ini yang terjadi di kampus putih, kampus perlawanan, apa-apa yang bertentangan dengan kebijakan yang menindas mahasiswa pasti akan dilawan, namun car melawan yang salah justru menimbulkan masalah, padahal berniat tuk mendapatkan maslahah. dan beginilah kesimpulannya, mencari maslahah menimbulkan masalah. Semoga mahasiswa kita semua tetap kritis dan idealis namun tetap mengedepankan nilai akademis, tidak semua masalah harus diselesaikan dengan aksi anarkis, perlakuan yang bengis, karena masalah bisa diselesaikan dengan dunia tulis menulis.

Karena seribu tentara tak ada artinya dibanding sebuah tulisan yang tajam menggelora (Adolf Hitler).

 

 

Labels

 
;